Perseteruan Antara Simeut dan Semut
Aku pulang sekolah dengan wajah yang sengaja kutekuk. Entah seperti apa bentuk bibirku jika cemberut. Biarlah mamaku tahu kalau aku ini sedang kesal. Bukan hanya kesal, tapi sangat-sangat kesal. Kesal pada temanku Mutia yang selalu membenciku. Entah kenapa, kali ini ia berulah lagi. Ia mengompori teman-teman agar tak bermain denganku. Berbisik-bisik dan tertawa sambil memandang sinis padaku. Apa sih salahku?
Benar saja, mama melihat kekesalanku. Rupanya mama bisa membaca suasana hatiku seperti apa. Ah, mama …. ia selalu tahu jika aku sedang gundah. Selalu paham jika aku sedang marah. Dipandanginya aku, tepat di kedua bola mataku, “Kenapa anak mama kusut begini sayang?”, tanyanya lembut. Bola matanya yang bertemu langsung dengan kedua bola mataku selalu membuatku teduh.
“Ada apa sayang? Temanmu mengganggumu lagi”, selidiknya.
Aku diam saja, aku juga tak tahu apakah kelakuan Muti tadi pagi menggangguku atau tidak. Yang jelas, ia telah membuatku sangat kesal dengan ulahnya. Akibatnya teman-teman tak ada yang menemaniku di jam istirahat tadi.
“Ayo …. ada apa lagi nak?”, mama bertanya lagi.
“Itu ma, si Muti berulah lagi …. “ aku mengadu.
“Berulah bagaimana maksudmu?” mama meminta penjelasanku.
“Dia ngomporin temen-temen supaya tidak bermain denganku, aku kan jadi sendiri jam istirahat tadi”, ungkapku dengan sedikit manja.
“Lho, tau dari mana kalau ia melakukan itu?”,tanya mama lagi.
“Iya ma, tadi dia bisik-bisik dan mengajak teman-teman bermain . Aku ditinggal sendiri di kelas”, jawabku.
“Kenapa tak kau dekati saja dan ajak dia bicara baik-baik?”, usul mama.
“Ah mama, seperti ga tau Muti aja, dia kan selalu begitu dari dulu. Mengejek, menyindir, pokoknya aku benci dia!”. Segera kutinggalkan mama, malas aku membahas masalahku dengan musuh bebuyutanku itu. Dari kelas satu hingga sekarang kelas dua, dia masih begitu padaku.
Mama diam saja sambil meneruskan pekerjaannya, mungkin ia memberi kesempatan padaku untuk menenangkan perasaanku ….
***
“Asyiik …” kami semua bersorak mendengar penjelasan Bu Rani. Kami semua senang, karena minggu depan akan melakukan kegiatan outbound di Cisarua. Sudah lama kami tidak bermain dan belajar di alam terbuka. Pasti sangat menyenangkan, seperti waktu perpisahan TK dulu. Kami melakukan banyak sekali kegiatan alam di Jambu Dipa, mulai dari menanam padi, menangkap ikan di kolam, memandikan kerbau, memetik buah strawberry, menyebrangi kolam dengan jembatan goyang, menyebrangi sungai dengan rakit sambil memegang tali dan banyak lagi. Semuanya mengasyikkan. Belum lagi beberapa permainan yang menantang, seperti merayap, meniti dua tali, memanjat jaring laba-laba, dan yang paling seru meluncur di ketinggian, yang disebut dengan flying fox. Aku pikir, kegiatan outbound kali ini pasti akan menyenangkan seperti dua tahun yang lalu. Bahkan mungkin akan jauh lebih seru….
Kami semua bersemangat, karena seminggu lagi akan melakukan aktivitas yang sangat menyenangkan. Keluar dari rutinitas sehari-hari yang membosankan. Istirahat sejenak dari pelajaran di kelas yang kadang menjenuhkan. Bukankah belajar di alam terbuka akan sangat berbeda dengan belajar di kelas? Pasti banyak pelajaran yang bisa dipetik, yang tidak bisa didapat di ruang kelas. Terutama pengalamannya itu lho …. pasti menyenangkan luar biasa. Tak sabar rasanya untuk sampai di hari yang telah ditentukan.
***
Setelah mendapat nomor kursi, kami segera naik ke bis masing-masing. Aku dan mamaku mendapat kursi di nomor 5 dan 6, jadi di barisan kedua dari depan. Ya, karena aku baru kelas 2 jadi boleh mengajak serta mamaku. Kalau murid kelas 3 sampai kelas 6 harus berani sendiri, tak boleh didampingi orang tua. Hanya murid kelas 1 dan 2 yang boleh didampingi, tapi kalau sudah berani boleh juga sih, tanpa pendamping.
Aku memilih untuk mengajak mama, karena ini kesempatan untuk bersenang-senang dengan mama. Untung mama mendapat ijin cuti dari kantornya, jadi bisa menemaniku. Enak kan, ada yang membawakan tasku, ada yang bisa memotret semua aktivitasku, pokoknya seneng deh karena ada mama…
Sampai di tempat tujuan kami dibagi dalam beberapa kelompok. Karena pembagiannya berdasarkan daftar hadir, jadilah aku sekelompok dengan Mutia Salsabila, musuh bebuyutanku… Ah, kenapa pula papaku memberi nama Meutia, jadi aku harus sekelompok dengan dia. Aku jadi kurang bersemangat dengan kegiatanku kali ini.
Benar saja, dalam beberapa permainan aku jadi sering kalah. Aku agak canggung jika harus bersentuhan, apalagi berpegangan tangan dengan Muti. Begitu pula ia, mukanya cemberut kalau harus berpasangan denganku. Aduh, kenapa aku harus sekelompok dengan dia sih ?
Saat istirahat aku merajuk pada mamaku, minta pindah kelompok. Mama bilang mama hanya mengantar, tak bisa membantu. Lagi pula, justru ini kesempatan untuk aku berbaikan dengan Muti.
“Lupakan saja perselisihanmu dengan Muti, kalian harus kompak untuk memenangkan berbagai perlombaan”, begitu saran mama.
“Mama rasa, kalian bisa berteman. Tadi mama ngobrol dengan Mamah Muti, mereka sebenarnya baik kok …”, lanjutnya dengan tenang.
Aku sebal mendengar penjelasan mama, dan terpaksa mengikuti kemauannya. Tapi tetap saja suasananya tidak enak. Permainan berikutnya aku ikuti tidak lebih bersemangat dari permainan-permainan sebelumnya. Teman-teman lain tampak kesal juga jika aku dan Muti membuat kesalahan yang tidak perlu. Mereka yang tahu perseteruan antara kami mencoba menengahi, tapi tetap saja hasil akhirnya tim kami kalah. Ya, kalah dan kegiatan hari ini berlalu tidak seperti yang kuharapkan. Ini semua gara-gara perseteruan antara aku dan musuh bebuyutanku.
Sepanjang perjalanan pulang aku cemberut, kecewa dengan kegiatanku hari ini. Teman-temanku yang kecapekan setelah beraktivitas berat seharian banyak yang tertidur. Hanya beberapa saja yang masih mengobrol atau sekedar melihat pemandangan di luar jendela.
“Kamu ngga mau tidur?”, tanya mama.
“Nggak ma, aku ga ngantuk”, jawabku.
“Aku masih kesal dengan kejadian tadi. Jadi ga enak gini outboundnya”,lanjutku.
“Kejadian yang mana? Karena kamu sekelompok dengan Muti?”, tanya mama.
“Iya ma …. coba aku tadi tak sekelompok dengan dia, pasti tim kami bisa menang. Mama kan tau sendiri, aku lebih berani, lebih lincah dari yang lain. Waktu TK juga aku selalu juara dan kelompok kami yang menang kan?” aku menjelaskan.
Mama hanya tersenyum, kemudian bertanya, “Itu karena Muti, atau karena dirimu sendiri?”
“Maksud mama?”, aku tak mengerti.
“Karena ada Muti, atau pikiran dan perasaanmu sendiri yang membuat kamu tidak optimal dalam hampir semua permainan tadi?”, mama memperjelas pertanyaannya.
“Jadi mama menyalahkan aku?”, sungguh tak enak aku mendengar pertanyaan mama.
“Bukan menyalahkan sayang, sini mama kasih tau sesuatu”, kata mama.
“Kasih tau apa ma?”, tanyaku penasaran.
“Lupakan dulu peristiwa tadi, trus kamu dengerin cerita mama ini ya…”, ujar mama sambil tersenyum. Tak lama kemudian, mama mulai bercerita.
“Dalam suatu perkemahan sekelompok kera, diberikan sebuah peraturan. Peraturan itu bunyinya seperti ini. Jika kamu kesal atau marah pada temanmu, masukkan satu buah kentang dalam plastik, lalu ikatkan di pinggangmu. Jika kamu marah lagi, masukkan satu kentang lagi. Begitu pula jika kamu tersinggung atau tak enak hati, tambahkan lagi kentangnya. Jangan lepaskan plastik itu, sampai perkemahan berakhir selama seminggu.”
Wah …. menarik juga cerita mamaku ini …
“Ada salah satu kera yang mudah marah, ia juga cepat tersinggung dan sering kesal menghadapi teman-temannya. Akibatnya kentang di pinggangnya cukup banyak jumlahnya. Ia membawa kentang itu kemanapun ia pergi. Keberadaan kentang itu sangat mengganggu dalam semua aktivitasnya. Tidak hanya itu, kentang yang sudah berhari-hari di pinggangnya itu juga menimbulkan bau busuk yang tidak enak”, lanjut mama.
“Nah …, menurutmu siapa yang akan terganggu oleh keberadaan kentang busuk itu?”, tanya mama.
“Ya kera itu ma …”, jawabku sekenanya.
“Hanya kera itu?”, tanya mama lagi.
Aku mulai berpikir. “Hmmm… belum tentu, mungkin teman-temannya juga. Mungkin semua kera yang ada di perkemahan itu.” tambahku .
“Betul sekali, kamu memang anak mama yang pandai”,mama mulai memujiku.
“Jadi, kalau dihubungkan dengan permusuhanmu dengan Muti, pelajaran apa yang bisa kamu ambil dari cerita kera tadi?” tanya mama.
“Ya, permusuhan itu tidak hanya menggangguku dan Muti, tapi juga mengganggu semua orang. Termasuk kelompokku dalam permainan tadi. Karena suasana yang tidak nyaman, kami tidak optimal melakukan permainan dan akhirnya kalah deh …” jawabku setelah mengerti arah pertanyaan mama.
“Hanya itu saja?”, mama bertanya lagi.
“Bukan cuma itu, permusuhan kami menyebabkan kegiatan outbound yang seharusnya seru jadi kacau. Jadi tidak enak banget suasananya….”, aku mulai paham.
“Jadi, kamu harus bagaimana sekarang?”, pancing Mama.
“Kayaknya aku harus baikan Ma, sama Muti”, jawabku perlahan.
“Menurutmu kenapa harus baikan?”, mama bertanya lagi.
“Karena permusuhan itu membuat suasana tidak nyaman. Di sekolah jadi kaku, belajar tidak tenang, engga bisa bebas bermain, pokoknya nggak enak banget mah …”, jawabku sambil melepaskan perasaanku.
“Sekarang rencanamu bagaimana, sayang?”, tanya mama sambil melihat ke arah mataku.
“Pengennya minta maaf sih ma, tapi mau nggak ya Muti maafkan aku?”, tanyaku ragu.
“Bagus itu, dicoba aja dulu, masa orang dibaikin malah nolak?”, jawab mama.
“Tapi kenapa harus aku yang minta maaf, aku kan nggak salah Ma?”, gengsiku mulai berulah.
“Untuk kebaikan tak harus menunggu orang lain minta maaf. Lagi pula, lebih mulia orang yang menyambung tali silaturahim duluan. Terlepas dari ia bersalah atau tidak”, panjang lebar mama menjelaskan.
Aku hanya terdiam mendengar penjelasan mama dan merenungkan semuanya sepanjang perjalanan pulang.
***
Sebelum latihan karate dimulai, sensei memeriksa kehadiran kami satu persatu. Tibalah giliranku, “Meutia Rahma …”
“hadir” teriakku.
“Mutia Salsabila”, panggilan berikutnya.
“Ada”, lantang suara Muti menjawabnya
“Bagus, Simeut dan Semut selalu rajin latihan”, ujar sensei. Ya, sekarang kami terkenal dengan panggilan yang menggelikan itu. Simeut panggilan untukku, yang sebenarnya berarti belalang dalam bahasa Sunda. Dan semut panggilan untuk Mutia sahabatku.
Sahabat? Bukankah kami adalah musuh bebuyutan? Bukankah seisi sekolah dan penghuni dojo tahu kalau terjadi perseteruan antara Simeut dan Semut?
Ho ho ho …. itu dulu kawan, saat kami masih di kelas dua SD. Sekarang kami sudah kelas lima dan sudah tiga tahun bersahabat dekat. Ternyata lebih enak bersahabat, bisa saling membantu, saling curhat, dan yang penting saling menyayangi seperti saudara sendiri. Betapa senang berjalan bersama bergandeng tangan, dalam indah persahabatan. Teman-teman lain sampai ngiri karena kami begitu lengket. Di mana ada Simeut, di situ ada Semut. Ah… panggilan sayang yang berawal dari guru olah ragaku ini ternyata begitu membahagiakan dan mengindahkan persahabatan kami.
Jika ada pertandingan olah raga, atau beberapa lomba termasuk kejuaraan karate, kami selalu berhasil jadi pemenang. Tentu saja, karena kami selalu kompak. Selalu semangat dalam berlatih dan mempersiapkan diri, senantiasa bersama dalam memperkuat fisik dan mental. Dan yang terutama, suasana hati kami selalu bebas dan ceria. Tidak ada sekat, tak ada beban yang mengganggu. Dampak positifnya, kami dapat menunjukkan kemampuan kami secara optimal, hingga dapat menghasilkan prestasi yang membanggakan.
Nah, kalian mau tahu apa rahasia persahabatan kami? Ayo tebak, kalau kalian menyimak ceritaku dari tadi, pasti akan dengan mudah mendapatkan jawabannya. Ya, tepat sekali ….. karena kami tak mau membawa kentang busuk dalam kegiatan kami sehari-hari. Tak ada kemarahan yang berlarut dan tak ada kebencian yang dipendam. Setiap permasalahan sedapat mungkin kami selesaikan secara kekeluargaan. Kami tuntaskan persoalan saat itu juga dan kami tak perlu terbebani dengan kondisi perasaan yang tak nyaman. Mudah bukan? Dengan menjaga hati dan saling menghormati, tak akan ada yang tersakiti. Dengan saling menyayangi dan toleransi, akan terbina persaudaraan yang tulus. Begitu kawan, itu rahasianya mengapa sampai sekarang kami selalu kompak. Tak akan pernah lagi ada perseteruan antara Simeut dan Semut. Yang ada hanyalah persaudaraan yang erat antara keduanya. Ah … alangkah indahnya persahabatan …. J
Dewi Kurniasari
Post a Comment
Post a Comment