Tenaga Kesehatan pun Punya Perasaan
Suatu saat rekan online saya, dr. Andreas Kurniawan, memoskan suatu gambar yang menarik. Gambar tersebut ia dapat dari sebuah blog The Travel Art. Dari gambar tersebut mengatakan demikian, “Tenaga Kesehatan pun Punya Perasaan: Bersikap sopanlah dengan dokter Anda.” Dari gambar tersebut tampak dokter berkulit hitam yang tengah dimarahi oleh pasiennya. Ya, ternyata inilah sebuah gambaran dari masyarakat di Malawi yang diambil pertengahan tahun 2008 silam.
Gambar tersebut diambil oleh seorang Barat yang tengah berkunjung ke Livingstonia, Malawi, negara di Afrika. Ia merasa heran karena di dunia Barat, dokter begitu dihormati. Namun di Afrika, entah mungkin karakter penduduk, dokter sering dibentak atau diomeli. Ya tentunya, di sini kita menyampingkan dahulu delik dugaan malapraktik atau kekeliruan.
Bagaimana di Indonesia?
Di Indonesia, paling tidak selama saya menjalani pendidikan dan program PTT di daerah terpencil di Kalimantan Barat, untungnya saya tidak menemukan hal ini. Walau saya pun tidak jarang juga mendengar jeritan hati sejawat yang diperlakukan tidak baik oleh masyarakat di daerah lain. Kita tidak bisa menutup mata dengan ini.
Jika demikian, apakah dokter harus dihormati? Saya jawab tegas, “Iya!”. Namun tentunya dihormati bukan berarti sama dengan kami gila hormat. Namun kami pun menghormati pasien kami. Ya, sesuai aturan emas, “Lakukanlah kepada orang lain seperti apa Anda sendiri ingin diperlakukan.” Sebenarnya hal ini tak berlaku di dalam relasi dokter-pasien saja, namun kepada semua orang, siapapun itu.
Masalah Pasien di Pedesaan?
Saya sudah menjalaninya selama 1 tahun di Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Sekali lai apakah mungkin saya yang untung, bahwa relasi saya dengan masyarakat tidak ada masalah. Masyarakat justru mudah sekali mengenal “Pak Dokter”, dan menyapa serta membantu saya ketika bertemu di pasar kecamatan. Tak jarang pula buah tangan pun diberi. Ya, pikir saya, selama kita mampu membawa diri dan menegakkan aturan emas, semua akan lancar-lancar saja.
Masalah di Pasien Perkotaan
Justru, saya melihat ada tunas masalah di daerah perkotaan. Dari sisi dokter, mungkin dokter tersebut terlalu tergesa-gesa, memiliki jam praktik yang ketat, sehingga kurang memiliki waktu untuk mendengar pasien dan memberi informasi. Dari sisi pasien juga, tidak sedikit pasien yang mulai mengarah ke swadiagnosis atau self-diagnosis karena mudahnya mendapat informasi medis, atau bahkan ekstrimnya malah tidak tahu sama sekali. Apalagi kalau ditambah bumbu sifat “sok tahu”. Hal inilah yang sering kali menjadi bibit konflik di atas meja praktik sampai ke meja hijau.
Solusinya?
Saya kira, kembali ke aturan emas tadi dan kembali ke “kodrat”-nya masing-masing antara dokter dan pasien. Dokter dan pasien harus tahu betul apa-apa saja yang menjadi hak dan kewajiban mereka, sehingga relasi dokter-pasien pun sarat keharmonisan.
Sebenarnya hal ini sudah sering kita dengar di masyarakat kok. Pernah dengar, “Anda sopan, kami segan?”
Post a Comment
Post a Comment