CANDI JAGO DAN CERITA KUNJARAKARNA DALAM KONTEKS MASA KINI
Oleh Katherine Purwanto
Universitas Muhammadiyah Malang
Kerjasama dengan
Australian Consortium for In-country
Indonesian Studies
Mei 2005, MALANG
1
KATA PENGANTAR
Laporan ini adalah suatu studi tentang Candi Jago dan relief-relief
Kunjarakarna. Penulisan laporan ini sebagai tugas terakhir program studi di
Indonesia. Program studi itu diselenggarakan oleh ACICIS (Australian
Consortium for In Country Indonesian Study) bekerjasama dengan UMM
(Universitas Muhammadiyah Malang).
Studi lapangan ini bisa diselesaikan dengan pertolongan banyak orang.
Yang terpenting adalah program ACICIS karena mereka memberi kesempatan ini
kepada saya dan menolong selama proses penelitian. Terutama Pak Tom Hunter,
Pak David Armstrong dan Ibu Lestari Widyastuti.
Dari UMM adalah Pak Habib, pembimbing saya, yang selalu menolong
kalau saya ada masalah dan dia juga membantu untuk menyesuaikan kehidupan
saya sehari-hari di Indonesia. Juga terima kasih banyak kepada Pak Wahid yang
mengurusi administrasi dan yang mencarikan informasi tentang aktivitas
ekstrakurikuler. Mereka yang juga banyak membantu saya adalah Ibu Tri, Ibu
Vina, Pak Sulismadi, Ibu Yuli dan berberapa dosen FISIP (Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik) yang lain.
Selain itu saya juga berterima kasih kepada Drs Blasius Suprapto M.Hum,
Pak Suhadi dan Rini Purwanti dari UNM (Universitas Negeri Malang), Ibu-Ibu
dan Bapak-Bapak dosen dari UNSW (University of New South Wales) yang
paling penting adalah Pak David Reeves, PSMD (Padepokan Seni Mangun
Dharmma) khususnya Ibu Karen, Pak Soleh dan mas Sohel atas bantuannya.
Yang tidak bisa dilupakan adalah keluarga saya di Indonesia, dan di
Australia, dan teman-teman (terutama anak-anak Crew 13) yang selalu
mendukung dan membetulkan bahasa Indonesia saya. Sekali lagi saya
mengucapkan terima kasih atas pertolongan mereka.
KATHERINE PURWANTO
(Mei 2005, Malang)
2
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian: Candi Jago dan Cerita Kunjarakarna Dalam Konteks
Masa Kini.
Nama Peneliti: Katherine Purwanto (05210541)
Nama Pembimbing: Dr. H. Achmad Habib, MA.
Ketua Program ACICIS Dosen Pembimbing
________________________ ______________________
Dra. Tri Sulistyaningsih, M.Si Dr. H. Achmad Habib, MA
Mengetahui:
Dekan FISIP UMM
________________________
Dra. Vina Salviana, DS., M.Si
Mei 2005, Malang
3
ABSTRAKSI
Indonesia adalah negara yang terkenal akan kekayaan sejarah budayanya,
termasuk kesenian, kesusastraan dan kepercayaan agama. Selama perkembangan
Indonesia dalam masa perbakala banyak bangunan yang berupa Candi
bermunculan. Candi-candi itu adalah satu contoh bangunan yang menyatukan
antara kesenian, kesusastraan dan kepercayaan agama. Selama penelitian ini, saya
coba menyelidiki tiga aspek budaya itu dan kaitannya dengan Candi Jago di desa
Tumpang, terutama tentang cerita Kunjarakarnanya.
Ada banyak aspek yang membuat penelitian tentang Candi Jago menarik. Dalam
konteks kesenian yang berupa relief, seperti Kunjarakarna, yang menghiasi candi
dan patung-patung untuk menghormati dewa adalah salah satu contoh kesenian
dari zaman lalu. Lagi pula relief-relief pada masa itu menggambarkan cerita
kesusastraan yang penting untuk masyarakat Majapahit. Dari peninggalan tersebut
ahli sejarah bisa mempelajari aspek budaya dan kepercayaan agama yang
mungkin akan hilang kalau tidak ada dalam relief-relief di candi.
Dari perspektif sejarah sekarang, tidak ada banyak tulisan-tulisan tentang Candi
Jago. Jadi kalau tidak ada orang yang meneliti Candi Jago ada kemungkinan
informasi yang penting untuk mempelajari zaman Majapahit hilang, karena candi
itu diterlantarkan dan dirusak. Sekarang sudah ada banyak candi yang dilupakan
dan informasinya hilang selama-lamanya. Maka penelitian tentang Candi Jago
atau peninggalan lain dari zaman lalu penting sekali untuk mengerti sejarah
perkembangan Indonesia dan pengaruhnya terhadap masyarakat masa kini.
Untuk memulai penulisan laporan studi ini saya harus memahami sejarah Candi
Jago dalam konteks Majapahit. Informasi ini didapat dari buku di banyak
perpustakaan di Malang, tetapi seperti telah dijelaskan bahwa buku-buku tersebut
tidak banyak. Kebanyakan sumber-sumber yang saya gunakan diketemukan dari
koleksi pribadi Pak Blasius Suprapto dari Universitas Negeri Malang. Seperti
biasa sumber-sumber tentang sejarah sering terdapat pandangan yang berbeda,
jadi informasi itu harus dianalisa untuk mengerti fakta yang mana mungkin lebih
benar.
Sejarah ini termasuk fungsi candi-candi dalam zaman dulu. Misalnya apakah itu
tempat pemujaan atau tempat pendharmaan, sebagai penghormatan kepada Raja
Wisnuwardhana seperti di Candi Jago. Kemudian fungsi-fungsi itu dibandingkan
dengan fungsi bagi masyarakat sekarang untuk mengerti perubahan makna, karena
perubahan sosial dan budaya dengan masyarakat yang telah maju.
Sejarah itu harus diteliti untuk memahami dasar-dasar kesenian yang digunakan
untuk menghiasi Candi Jago. Lewat hasil-hasil penelitian itu, alasan pemilihan
bentuknya, cerita-ceritanya, patung-patungnya dan lainnya akan muncul.
Misalnya Raja Wisnuwardhana didharmakan sebagai Bodhisatwa Amoghapasha
dan karena itu kebanyakan aspek-aspek Candi Jago ada pengaruh Buddha.
Kemudian saya observasi Candi Jago dari perspektif kesenian yang berpengaruh
pada sejarah tersebut.
4
Mungkin keistemewaan kesenian yang paling menarik adalah relief-relief yang
menghiasi Candi Jago. Untuk laporan ini saya menyoroti tentang relief
Kunjarakarna. Yaitu cerita tentang seorang raksasa yang disuruh oleh Wairocara,
dewa Buddha, masuk neraka untuk mengerti hukuman kalau dia tidak mengikuti
ajaran Buddha. Saya menyelidiki salah satu versi cerita itu yaitu syair oleh Mpu
Dusun berkaitan dengan relief di Candi Jago.
Aspek yang paling penting selama penelitian ini adalah pandangan masyarakat
sekarang tentang Candi Jago dan cerita Kunjarakarna dalam konteks masa kini.
Ada tiga tema yang diutamakan. Yang pertama bagaimana pengetahuan
masyarakat sekarang tentang sejarah Candi Jago dan cerita Kunjarakarna. Kedua
apakah Candi Jago dianggap sebagai tempat suci dari orang Buddha, Hindu dan
Islam dan ketiga apa fungsi Candi Jago dan cerita Kunjarakarna dalam konteks
zaman sekarang. Informasi ini diketemukan lewat angket-angket orang biasa di
kota Malang dan di desa Tumpang dan selain itu wawancara dengan ahli sejarah.
Temuan penelitian menarik sekali. Dari angket-angket saya mengetahui
masyarakat di Malang dan di Tumpang tidak mengerti sejarah Candi Jago dan
menurut mereka fungsi Candi Jago sudah berubah. Sekarang itu hanya dianggap
tempat suci oleh orang Buddha atau Hindu. Hanya sedikit orang Islam
mengatakan itu tempat suci dan mereka berpendapat itu hanya untuk menghormati
orang yang beragama lain. Sekarang Candi Jago berfungsi sebagai tempat
pariwisata atau penelitian sejarah. Bagi masyarakat Tumpang itu hanya tempat
pacaran atau untuk anak kecil yang mau main-main. Yang menyedihkan adalah
tempat kuburan seorang Raja sekarang sudah hilang kesuciannya dan tidak
dipakai untuk upacara atau bersembayang.
5
ABSTRACT
Indonesia is a country which is famous for its rich cultural history, including art,
literature and religious practices. Throughout the development of Indonesia in
ancient times buildings called Chandis began to appear. These Chandis are one
example of buildings which combine these aspects of art, literature and religious
beliefs. During this research, I tried to investigate these three aspects of culture
and their relationship with Chandi Jago in the village of Tumpang, especially in
regards to its Kunjarakarna story.
There are many aspects which made researching Chandi Jago interesting. In an art
context such as the reliefs, like Kunjarakarna, which adorn the Chandi and the
statues that honour the gods are one example of art from the past. Also these
reliefs retell literature stories that were important to the Majapahit society. From
these artifacts historical experts are able to study aspects of culture and religious
practices which may have been lost had they not been in the reliefs of Chandis.
From a historical perspective today, there are few writings about Chandi Jago. So
if there is no-one researching Chandi Jago there is the possibility that important
information to the study of the Majapahit era will be lost because the Chandis are
abandoned and therefore destroyed. Already there are many Chandis which have
been forgotten and information lost forever. Thus research about Chandi Jago or
other ancient artifacts from the past is very important to the understanding of
Indonesia’s historical development and its influence on today’s society.
In starting this research paper I first had to understand Chandi Jagos history in
relationship to the Majapahit era. This information came from books from many
libraries around Malang but as previously mentioned there were few books on the
subject. Most of the sources I used were found in the private collection of Mr.
Blasius Suprapto from the Univeristas Negeri Malang. As usual these sources
about history often had different views and so the information had to be analyzed
to work out which facts were more correct.
This history included the function of Chandis in the past. For example were they
used as a place for prayers or as a final resting ground for someone important, as
was the case at Chandi Jago which honors King Wisnuwardhana. Then these
functions were compared to the functions of Chandis in today’s society to
understand the way their meaning has changed with the social and cultural
changes of an advancing society.
This history has to be investigated in order to understand the foundation of the art
used to decorate Chandi Jago. Through the results of this research, possible
reasons for the choice of its shape, stories, statues ect appeared. For example King
Wisnuwardhana was deified as the Buddhist Amoghapasha and because of this
many aspects of Chandi Jago have a Buddhist influence. I also carried out
observation of Chandi Jago from an art perspective in relation to the
aforementioned historical influence.
6
Probably the most interesting art feature is the reliefs which adorn Chandi Jago.
For this report I focused on the Kunjarakarna relief which is a story about a
demon who is ordered by Wairocana, a form of the God Buddha, to enter hell to
understand the punishments for not following the Buddhist law. I investigated one
version of the story, that is a poem by Mpu Dusun, and its relationship to Chandi
Jago.
The aspect which was most important throughout my research was how society
now views Chandi Jago and the Kunjarakarna story in today’s context. There
were three main themes. Firstly how much society today understands Chandi Jago
history. Secondly is Chandi Jago still considered a sacred place by Buddhist,
Hindu and Islamic people and lastly what is the function of Chandi Jago and the
Kunjarakarna story in today’s context. This information was found through
surveys of everyday people in Malang and in Tumpang and also through
interviews with historical experts.
The results of this research were very interesting. From the surveys I found out
that neither the people of Malang or Tumpang understand Chandi Jagos history
and they believe that the function of Chandi Jago has changed. Nowadays only
Buddhist and Hindu people regard Chandi Jago as sacred. Only a few Muslims
say its sacred ground and they are only of that opinion to respect people of
another religions beliefs. Today Chandi Jago’s function is as a place for tourists or
historical researchers. For Tumpang society it is just a place for dating or for
small children who want to play. Its saddening that the burial ground of a king has
lost its sacredness and is no longer used for celebration or prayers in his honor.
7
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................1
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................................................2
ABSTRAKSI....................................................................................................................................3
ABSTRACT.....................................................................................................................................5
DAFTAR ISI....................................................................................................................................7
BAB 1: ..............................................................................................................................................9
PENDAHULUAN .....................................................................................................................9
1.1 LATAR BELAKANG ..................................................................................................9
1.2 RUMUSAN MASALAH............................................................................................ 11
1.3 TUJUAN PENELITIAN........................................................................................... 12
1.4 METODOLOGI.......................................................................................................13
BAB 2: ............................................................................................................................................14
SEJARAH CANDIJAGO........................................................................................................14
2.1 SEJARAH MAJAPAHIT YANG BERHUBUNGAN DENGAN BERDIRINYA CANDI
JAGO.......................................................................................................................14
2.2 FUNGSI CANDI......................................................................................................17
2.3 KEUNIKAN CANDI JAGO DARI SISI KESENIAN ................................................19
BAB 3: ............................................................................................................................................23
CERITA KUNJARAKARNA DHARMAKATHANA............................................................ 23
3.1 SINOPSIS CERITA..................................................................................................23
3.2 TUJUAN CERITA....................................................................................................27
3.3 KENAPA PILIH CERITA KUNJARAKARNA UNTUK CANDI JAGO ...................29
BAB 4: ............................................................................................................................................31
RELEVANSI CANDI JAGO DALAMKEHIDUPAN MASYARAKAT MASA KINI..........31
4.1 FUNGSI CANDI JAGO DALAM KEHIDUPAN ZAMAN SEKARANG ..................31
4.2 RELEVANSI CERITA KUNJARARAKARNA DALAM MASA KINI ........................36
BAB 5: ............................................................................................................................................38
PENUTUP................................................................................................................................38
5.1 KESIMPULAN ........................................................................................................38
5.2 SARAN.....................................................................................................................40
DAFTAR PUSTAKA INTERNET ..............................................................................................42
LAMPIRAN A:..............................................................................................................................43
KOMPAS- CANDIJAGO..............................................................................................................43
LAMPIRAN B:..............................................................................................................................46
KOMPAS- “DE-JAWANISASI” ....................................................................................................46
8
LAMPIRAN C:..............................................................................................................................50
KOMPAS- PADEPOKANSENIMANGUN DHARMA ......................................................................50
LAMPIRAN D:..............................................................................................................................52
KOMPAS- PADEPOKANSENIMANGUN DHARMA ......................................................................52
LAMPIRAN E:..............................................................................................................................55
KOMPAS- PENCURIANBENDA-BENDA BERSEJARAH ................................................................55
LAMPIRAN F:..............................................................................................................................56
KOMPAS- PENCURIAN BENDA-BENDA BERSEJARAH .................................................................56
LAMPIRAN G: .............................................................................................................................58
KOMPAS-ARSITEKTUR .............................................................................................................58
9
BAB 1:
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Indonesia adalah negara yang terkenal akan kekayaan sejarah budayanya,
termasuk kesenian, kesusastraan dan kepercayaan agama. Selama perkembangan
Indonesia dalam masa perbakala banyak bangunan yang berupa Candi
bermunculan. Candi-candi itu adalah satu contoh bangunan yang menyatukan
antara kesenian, kesusastraan dan kepercayaan agama. Misalnya kesenian bisa
dilihat dalam konteks struktur, gambar pahatannya dan patung-patungnya yang
dekat atau di dalam candinya. Aspek kesusastraan ada di dalam cerita-cerita yang
digunakan sebagai relief-reliefnya dan juga terdapat pengaruh agama terhadap
bentuk candi dan alasan candi itu dibangun.
Pembangunan candi-candi disebabkan oleh dua alasan. Yang pertama adalah
tempat suci untuk tempat pemujaan yang mau beribadah kepada dewanya. Yang
kedua candi-candi dahulu dibangun sebagai kuburan para raja.1 Candi-candi itu
bisa dibagi dalam tiga macam, yaitu candi Buddha, candi Hindu dan candi yang
campuran kedua agama itu. Dalam zaman dulu agama Buddha dan agama Hindu
adalah agama yang dianut oleh kebanyakan masyarakat Indonesia.
Ada berberapa pendapat tentang cara agama-agama itu diperkenalkan di
Indonesia, contohnya dari pedagang yang berasal dari India. Bagaimanapun ada
1 Dr Slametmulyana. Negarakretagama Dan Tafsir Sejarahnya. Bhratana Karya Aksara. Jakarta
1979. h.216
10
satu kepercayaan tentang pengenalan agama-agama itu disebabkan oleh seorang
raja yang mencari pimpinan dari Brahman atau pendeta dari India. Dikatakan
seorang raja suka ikut agama yang didalamnya terdapat berberapa dewa karena itu
akan menguatkan kekuasaannya.2 Bagaimanapun agama-agama itu berkembang
sangat pesat di Indonesia.
Di masa Majapahit di Jawa Timur kepercayan tentang kedua agama itu kuat dan
banyak candi-candi dibangung karena kepercayaan itu. Satu contoh adalah Candi
Jago. Candi Jago terletak di desa Tumpang, dekat pasar, kira-kira 18km dari kota
malang di Jawa Timur.3 Dulu Candi Jago bernama Candi Jajaghu.4 Candi itu
adalah salah satu candi yang bisa ditemukan di Indonesia. “Menurut pemberitaan
Kitab Negarakeretagama dan Pararaton, Candi Jago adalah tempat pendharmmaan
Raja Wisnuwardhana.”5 Selain itu Raja Wisnuwardhana juga didewakan dalam
bentuk Buddha di Candi Jago dan didewakan di candi lain sebagai Siwa.6
Satu aspek yang unik terhadap Candi Jago adalah relief-reliefnya. Candi Jago
sering digambarkan sebagai “story-book temple”, atau “candi pustaka” yaitu candi
yang seperti buku gambar atau buku cerita-cerita kesusastraan Jawa kuno.7
2 Hindu-Buddhism Period of Indonesian Archaeology. http://www.arkeologi.net/classic.php
Diakses tanggal 28-2-05
3 P.Witton. E.O’Carrol dll. Lonely Planet Indonesia 7th Ed. Lonely Planet Publications Pty Ltd.
SNP SPrint. Malaysia. November 2003. h.283
4 S.Suwardono dan S.Rosmiyah. Monografi: Sejarah Kota Malang. CV Sigma Media. Malang
1997. h.40
5 Suwardono h.40
6 A.Teeuw dan S.O.Robinson. Kunjarakarna Dharmmakathana: Liberation through the law of
Buddha. Koninklijk Instituut voor Taal-. Land- en Volkenkunde. Netherlands 1981
7 Soekmono. Candi Fungsi dan Pengertian. Universitas Indonesia Jakarta. 1974. h.251
11
Misalnya cerita Kunjarakarna, yang didasarkan dalam cerita-cerita Jawa kuno dan
belum diketemukan dalam sumber sejarah diluar Indonesia.8
Ada banyak aspek yang membuat penelitian tentang Candi Jago menarik. Dalam
konteks kesenian yang berupa relief yang menghiasi candi dan patung-patung
untuk menghormati dewa adalah salah satu contoh kesenian dari zaman lalu. Lagi
pula relief-relief pada masa itu menggambarkan cerita kesusastraan yang penting
untuk masyarakat Majapahit. Dari peninggalan tersebut ahli sejarah bisa
mempelajari aspek budaya dan kepercayaan agama yang mungkin akan hilang
kalau tidak ada dalam relief-relief di candi.
Dari perspektif sejarah sekarang, tidak ada banyak tulisan-tulisan tentang Candi
Jago. Jadi kalau tidak ada orang yang meneliti Candi Jago ada kemungkinan
informasi yang penting untuk mempelajari zaman Majapahit, hilang karena candi
itu diterlantarkan dan dirusak. Sekarang sudah ada banyak candi yang dilupakan
dan informasinya hilang selama-lamanya. Maka penelitian tentang Candi Jago
atau peninggalan lain dari zaman lalu penting sekali untuk mengerti sejarah
perkembangan Indonesia dan pengaruhnya terhadap masyarakat masa kini.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Selama penelitian ini masalah yang akan dipecahkan adalah sebagai berikut:
1) Dalam pendapat masyarakat sekarang apakah Candi Jago adalah candi
Buddha, candi Hindu atau candi yang campuran kedua agama itu?
8 A.Teeuw. h.2
12
2) Apa Candi Jago dan cerita Kunjarakarna masih relevan dalam zaman
sekarang?
3) Dari perspektif orang Buddha, Hindu dan Islam apakah Candi Jago, atau
candi-candi yang lain dari Majapahit, masih masih dianggap tempat suci?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Dalam proses penelitian Candi Jago aspek-aspek yang akan diteliti termasuk:
1) Sejarah Candi Jago dan pemahamannya dalam konteks Majapahit.
2) Fungsi candi dalam zaman lalu dibandingkan fungsi dalam zaman
sekarang.
3) Pengaruh agama Buddha terhadap cerita Kunjarakarna dan Candi Jago,
dan relevansi cerita Kunjarakarna untuk masyarakat sekarang.
4) Observasi tentang Candi Jago dari perspektif kesenian.
5) Mengerti pandangan masyarakat sekarang terhadap relevansi Candi Jago
dengan zaman sekarang, misalnya apakah candi itu dipertimbangkan
sebagai tempat suci.
Laporan ini menyoroti tentang masyarakat Tumpang dan Malang, khususnya
dalam masyarakat-masyarakat itu orang yang beragama Buddha, Hindu dan Islam
karena mereka adalah agama yang paling berkaitan dengan Candi Jago. Yakni
agama Buddha dan Hindu yang paling kuat dalam zaman dulu sementara itu,
agama Islam adalah agama yang terkuat pada masa kini.
13
1.4 METODOLOGI
Sebagian terbesar penelitian ini dilakukan melalui pengumpulan informasi dari
sumber sejarah. Seperti biasa kebanyakan sumber-sumber tentang sejarah
memakai data sekunder. Maka bagian terbesar fakta-fakta yang digunakan dalam
laporan ini didapat dari data sekunder dan oleh kaerna itu semua data-data itu
harus dianalisis untuk memahami fakta yang mana lebih benar.
Untuk cari informasi tentang relevansi Candi Jago dan cerita Kunjarakarna dalam
konteks masa kini ahli sejarah dan ahli seni diwawancarai, dan golongan orang
yang beragama Buddha, Hindu dan Islam diberi angket. Mengenai pertanyaan
wawancara dan angket, untuk menyoroti tentang tema-tema yang diteliti
wawancara terstruktur dan angket yang ada pertanyaan semi terbuka digunakan.
Struktur-struktur itu mengurangi kemungkinan dapat terlalu banyak informasi
yang tidak relevan dan menfokuskan tentang aspek-aspek yang penting untuk
penelitian ini.
Selain itu observasi nonperilaku dan dokumentasi tentang Candi Jago dari
perspektif kesenian adalah metode lain yang juga dipakai.
14
BAB 2:
SEJARAH CANDI JAGO
2.1 SEJARAH MAJAPAHIT YANG BERHUBUNGAN DENGAN
BERDIRINYA CANDI JAGO
Ada satu pendapat yang mengatakan zaman Majapahit didirikan sekitar tahun
1294 di Jawa Timur.9 Tetapi pandapat itu tidak dibenarkan oleh sumber lain yang
katanya Candi Jago dibangun untuk pendharmmaan satu raja dari Majapahit, Raja
Wisnuwardhana, sekitar tahun 1268 CE (Saka 1190) yaitu tahun wafatnya
sebagaimana dicatat dalam Desawarna (37.7) dan Pararaton (18.12). Atau satu
kemungkinan lain adalah duabelas tahun sesudah 1280 untuk upacara Sraddha.10
Menurut Pak Tom Hunter upacara Sraddha dilakukan untuk memastikan
keabadian atma (arwah) Raja yang didharmmakan. Dalam contoh Candi Jago
arwah Raja Wisnuwardhana dimasukan arca Amoghapasha dan lewat candi dan
arca itu masyarakat Majapahit bisa memberi penghormatan kepada dia selamalamanya.
Sepeninggal Raja Anusapati, yang dibunuh oleh Panji Tohjaya11 tahun 1248 atau
1249,12 Raja Wisnuwardhana dinobatkan tanggal 23 September sesudah terjadian
itu. Dalam zaman dulu, ketika agama Hindu sebagai agama terkuat, para raja
9 P.Witton. h.20
10 T.M. Hunter Jr. The Aridharma Reliefs of Candi Jago (paper di dalam Society and Culture of
Southeast Asia: Continuities and Change) New Delhi: International Academy of Indian Culture
and Aditya Prakashan 2000: 61-101. h.29
11 Suwardono. h.40
12 Dr Slametmulyana. h.97
15
sering dianggap sebagai titisan Visnu.13 Jadi dari nama Wisnuwardhana ada
kemungkinan besar dia ikut agama Hindu dan kepercayaan itu karena kalau
masyarakat menghubungkan dia dengan dewa-dewa kekuasaannya . Menurut
penjaga Candi Jago, Raja Wisnuwardhana beragama Siwa-Buddha tetapi ahli
sejarah tidak setuju dengan kesimpulan itu karena menurut mereka tidak ada
cukup bukti.
Raja Wisnuwardhana memerintah kerajaan Tumapel.14 Sebelum dinobatkan Raja
Wisnuwardhana biasanya dipanggil Panji Seminingrat atau di dalam Kitab
Pararaton kalau dia disebut memakai nama Rangga Wuni.15 Dalam tulisan
Nagarakretagama dan Pararaton ada saranan yang percaya Raja Anusapati adalah
ayah Raja Wisnuwardhana tetapi ada satu pihak lain yang membantah pikiran
itu.16
“(Pada) Tahun 1268 Raja Wisnuwardhana meninggal dan didharmmakan di Candi
Jago sebagai Bodhisatwa Amoghapasa dan di Candi Waleri sebagai Dewa
Siwa”.17 Fakta dia didewakan sebagai Dewa Buddha dan Dewa Siwa memperkuat
kepercayaan dia beragama Siwa-Buddha. Ada satu pendapat tentang Raja Hayam
Wuruk mempunyai kaitan dengan Raja Wisnuwardhana. Dikatakan dia pernah
mengunjungi makam leluruhnya di Candi Jago. Yakni itu bisa disimpulkan Raja
Hayam Wuruk keturunan dari Raja Wisnuwardhana.18 Ada satu kejadian lain
13 Dr Slametmulyana. h.102
14 Dr Slametmulyana. h.98
15 Suwardono. h.40
16 Dr Slametmulyana. h.98
17 Suwardono. h.41
18 A.Sunyoto. Petunjuk Wisata Sejarah Kabupaten Malang: Lingkaran Studi Kebudaya Malang
2000. h. 42
16
sewaktu dikatakan Raja Hayam Wuruk mengunjungi Candi Surabhana. Candi itu
terletak di desa Blosan sebelah utara-timur dari dareah Kediri di Jawa Timur.
Menurut dugaan candi itu dibangun untuk paman lewat penikahan, yang bernama
Wijayarajasa. Demikianlah rupanya Raja Wuruk terasa itu penting untuk
mengunjungi tempat suci untuk menghormati nenek-moyangnya dan kalau itu
benar gagasan itu memperkuat tuntunan bahwa Candi Jago dikunjungi oleh Raja
Wuruk.19
Sewaktu Raja Hayam Wuruk (1350-89) memerintah, zaman Majapahit menjadi
zaman yang termuka. Namun, satu fakta yang harus ditekankan adalah ekspansi
teritorial dilaksanakan oleh komandan Gajah Mada. Selama rezimnya Gajah Mada
mengambil penguasaian dari hampir seluruh nusantara. Dia juga memaksakan
kerajaan kecil untuk membuat pedagangan hak dengan dia. Ada yang mengatakan
kerajaan Hayam Wuruk mempunyai hubungan perdagangan dengan Cina,
Kamboja, Annam (daerah yang sekarang adalah bagian Vietnam) dan Siam
(Thailand).20 Namun, runtuhnya kekaisaran Majapahit dimulai sewaktu Hayam
Wuruk meninggal dunia tahun 1389. Kejadian itu disebabkan oleh pemberontakan
tanah jajahan dari Jawa Utara.21
Satu faktor yang mempengaruhi kemunduran Majapahit adalah berkembangnya
penerimaan kepercayaan agama Islam. Agama Islam bermula di Sumatra Utara
karena pedagang dari Gujarat (daerah di India) sering lawat disitu waktu mereka
19 P.Worsley. Narrative Bas-reliefs at Candi Surawana Dalam Marr. David G. and A.C. Millner
“South East Asia in the 9th to 14th Centuries” Singapore. 1986. h.335
20 P.Witton. h.20
21 P.Witton. h.20
17
mau ke Malaku atau Cina. Banyak perkampungan pedagang Arab bermunculan
dan kira-kira akhir abad 12 hampir semua ujung utara Sumatra mengikuti agama
Islam. Pada waktu abad 15 dan 16 Indonesia manjadikan agama Islam sebagai
satu agama negerabagian. Namun, ada satu pandangan terhadap ada kemungkinan
di dalam teman-teman para Raja Majapahit ada orang-orang yang beragama
Islam. 22
Keruntuhan terakhir kerajaan Majapahit terjadi pada akhir abad 16. Banyak
kerajaan menyatakan kemerdekaannya dan mendirikan daerahnya sebagai negara
bagian Islam. Untuk menolong konversi itu pemerintah Indonesia menyatukan
aspek agama Hindu dan kepercayaan adat, yaitu animisme, yang berhasil ada satu
agama Islam yang campuran. Agama itu cepat diterima di seluruh Indonesia dan
itu mengakibatkan Indonesia dianggap Negara yang mayoritas beragama Islam
sampai saat ini. 23
Masa Majapahit adalah kerajaan besar yang paling akhir. Sejak kemunduran masa
itu Indonesia berkembang dan berubah sampai dewasa ini hanya ada peninggalan
seperti candi-candi atau tulisan-tulisan untuk mengingat maupun mepelajari
sejarah Majapahit.
2.2 FUNGSI CANDI
Dalam konteks sekarang kata candi mempunyai dua pengertian. Arti harfiah
adalah tempat perlindungan, biasanya dibuat dari batu. Sedangkan arti kiasan bisa
22 P.Witton. h.20
23 P.Witton. h.20
18
digambarkan sebagai tempat yang melibatkan perasaan agama yang setinggitingginya
dan perenungan mistik.24 Mengenai arti-arti tersebut, kedua artinya itu
tidak harus dipisah karena tempat perlindungan sering dihubungkan dengan
perasaan agama dan tenaga mistik.
Kalau membicarakan tentang fungsi candi dalam zaman dulu ada dua macam.
Seringkali candi-candi dibangun sebagai tempat pendharmaan para raja seperti
Candi Jago. Biasanya candi-candi itu dibangun untuk mengubur abu jenazah atau
sebagai tempat penghormatan terhadap seorang raja. Waktu seorang raja
meninggal dunia, jenazahnya dibakar dan abu jenazah disimpan dengan barng
barang yang dimilikinya dan semua dikubur di dalam lubang yang terletak di
dasar candi. Kemudian Candi dibangun diatas itu dan biasanya ada arca yang
menggambarkan raja itu sebagai Dewa. Selama upacara ibadah ada kepercayaan
arca-arca itu dihidupkan karena dewa yang di patung masuk arca dari atas dan
membuat badan batin dan badan badani dibuat dari hal-hal yang adi sama jenazah
abu yang di dalam.25
Satu alasan lagi untuk membangun candi-candi adalah masyarakat itu minta
tempat suci untuk menghormati dewa-dewa. Professor Zoetmulder
menggambarkan candi sebagai tempat pertemuan antara pemuja dan yang
dipuja.26
24 Soekmono. h.20
25 Soekmono. h.244
26 Soekmono. h.250
19
Satu cara untuk mengetahui apakah candi itu adalah candi kuburan atau candi
penghormatan bisa dilihat dari reliefnya. Relief-relief yang menghiasi candi bisa
disusun dalam dua cara. Yang pertama adalah cara bernama pradaksina, yaitu
relief-reliefnya dibaca dari sisi canan ke sisi kiri. Candi-candi yang menggunakan
cara ini adalah candi yang untuk memberi penghormatan kepada dewa. Cara
kedua memakai sistem praswyu yang menyusun relief-reliefnya dibaca dari sisi
kiri ke sisi kanan. Cara Praswyu adalah pertanda candi itu berfungsi sebagai
pemakaman. Dalam konteks itu candi yang pemakaman biasanya ditandai oleh
adanya lubang di dalam dasar struksur, namun dalam candi Buddha ciri khas itu
tidak ada.27
Seperti dijelaskan fungsi candi dalam zaman lalu terutama candi dari masa
Majapahit biasanya ada dua fungsi itu. Candi Jago adalah satu contoh cara
fungsi-fungsi itu bisa dicampur. Yakni itu adalah tempat untuk mengubur jenazah
abu Raja Wisnuwardhana dan juga itu tempat yang dia didewakan sebagai tokoh
Buddha Amoghapasa. Oleh karena itu Candi Jago menjadi tempat untuk
meghormati dia sebagai dewa.
2.3 KEUNIKAN CANDI JAGO DARI SISI KESENIAN
Seperti sudah disebut bahwa Candi Jago dulu bernama Candi Jajaghu. Jajaghu
berarti keagungan28, tetapi saat ini sedikit keagungan itu hilang karena dari jauh
Candi Jago kelihatan seperti sudah rusak. Namun kalau dari dekat bisa lihat ada
27 Soekmono. h.245
20
relief-relief yang masih bagus dan struktur menarik sekali karena berbeda
daripada candi-candi lain yang dibangun dalam zaman Majapahit.
Bentuknya seperti pyramide yang berundak29, disusun dari 3 teras. “Makin ke atas
terasnya makin mengecil” dan teras yang paling penting dan tersuci adalah teras
yang teratas.30 Ada dua tangga-tangga untuk naik ke ruangan induknya yang di
teras diatas, yaitu di sebelah kiri dan kanan di sisi depan.31 (Lihat Gambar 2)
Seperti candi makam yang dibangun dalam masa Majapahit, Candi Jago dari sisi
depan itu menghadap utara-barat ke arah dunia orang yang mati.32
Atau ada satu pendapat yang berpikir bentuk itu mengingatkan bangunan pada
zaman Megalitichum yaitu bangunan punden (tempat suci) berundak. Bangunan
tersebut “mempunyai fungsi pokok sebagai tempat untuk melakukan pemujaan
pada arwah roh leluhur”.33 Itu hanya satu pendapat. Candi Jago dalam konteks
agama ada struktur yang luar biasa. Ada satu teori yang dikatakan bentuk candicandi
Buddha biasanya pendek dan lebar, seperti di Candi Borobudur, sedangkan
candi-candi Hindu biasanya berbentuk tinggi dan kurus, seperti di Candi
Prambanan. Tetapi Candi Jago tidak cocok dengan teori itu. Bentuknya lebih
seperti mencoba mempersatukan bentuk candi Buddha dan bentuk candi Hindu.
28 Candi Jajaghu- Tumpang Malang http://www.geocities.com/d3ja
Diakses tanggal 19-4-05
29 J.Fontein. R.Soekmono dan S.Suleiman. Kesenian Indonesia Purba (Zaman-zaman Djawa
Tengah dan Djawa Timur) P.T. Caltex Pacific Indonesia. 1972. h.40
30 Candi Jajaghu- Tumpang Malang
Diakses tanggal 19-4-05
31 Suwardono. h.40
32 Candi Jago http://hanacaraka.com/EJJago.html
Diakses tanggal 28-2-05
33 Candi Jajaghu- Tumpang Malang
Diakses tanggal 19-4-05
21
Gagasan itu mangembangkan kepercayaan Raja Wisnuwardhana mengikuti agama
Siwa-Buddha. Di Candi Jago, Raja Wisnuwardhana didharmmakan sebagai
Amoghapasha sedangkan di Candi Waleri sebagai Dewa Siwa34. Fakta-fakta itu
bisa dimengerti sebagai satu cara untuk memisahkan kedua agama itu, makna
Candi Jago dibangun dari alasan agama Buddha.
Aspek yang meyakinkan ahli sejarah bahwa candi ini lebih Budhistis daripada
Hinduistis adalah arca-arca yang bersifat Bajradhara Buddhistis. Dulu ada arca
Amoghapasha dengan empat pengawalnya tetapi sekarang aeca pengawal itu
tersimpan di Museum Nasional Jakarta. Pengawal termasuk; Shudhanakumara,
Syamatara, Hayagriwa dan Bhrekuti. Arca Amogapasha yang di halaman adalah
replik yang dibuat oleh Raja Kertanegara (raja Singosari terakhir). Disamping itu
adalah arca Muka Kala (muka raksaksa) yang dulu mungkin menghiasi pintu
candi.35
Bukan hanya arca-arca yang mungkin tidak asli di Candi Jago. Candi Jago
dikatakan berasal dari akhir Majapahit tetapi bahan-bahan batunya sangat
mungkin berasal dari masa Singosari atau dari masa ketika direnovasi oleh raja
Adityawarma dari Sumatra pada tahun 1343. Jadi mungkin ini menjelaskan
perbedaan antara gaya seni patung dan gaya seni relief yang lebih modern.
“Relief-relief dari Jawa Tengah dipahat secara naturalis sedangkan relief di Jawa
Timor dipahat secara simbolis dalam bentuk wayang kulit”. Relief-relief di Candi
Jago bisa dibagi dalam dua golongan. Relief yang bersifat Hinduistis dari
34 Candi Jajaghu- Tumpang Malang
Diakses tanggal 19-4-05
35 Candi Jajaghu- Tumpang Malang
Diakses tanggal 19-4-05
22
Mahabarata termasuk Parthayajna, Arjuna Wiwdha dan Kalayawana atau Krisna
sementara yang bersifat relief-relief yang bersifat Budhistis adalah Tantri,
Aridharmma dan Kunjarakarna.36
Kesimpulannya adalah Candi Jago merupakan candi Budhistis, namun kenapa
memakai cerita-cerita Hindu. Pada dasarnya agama Buddha adalah gerakan
pembaharuan agama Hindu. Pada zaman Majapahit kedua agama itu dicampur
dengan kepercayaan adat Jawa. Maka pemisahan yang menyeluruh tidak bisa
dilakukan.37 Menurut Pak Tom Hunter selama proses membangun Candi Jago
paling mungkin itu dijagai oleh pendeta-pendeta yang terpenting untuk keluarga
Raja Wisnuwardhana. Kalau pendeta yang menjaga pembangunan itu adalah
pendeta Buddha itu tidak berarti pendeta itu hanya memakai cerita Budhistis.
Sebetulnya dalam dasar pelajarannya pendeta-pendeta Majapahit mungkin ada
sumber lisan dan sumber kesusastraan dari agama Buddha, agama Hindu dan dari
kepercayaan adat. Waktu mereka mau mengajari tentang moralitas atau cara untuk
menjadi raja yang baik, mereka mungking pilih cerita yang lebih relevan tanpa
memperhatikan agama cerita itu berdasar. Mungkin pendapat itu menjelaskan
kenapa Candi Jago sering digolongkan sebagai Candi Siwa-Buddha tetapi seperti
tadi disebut dari arca-arca bisa dilihat Candi Jago lebih candi Buddha daripada
candi campur.
36 Candi Jajaghu- Tumpang Malang
Diakses tanggal 19-4-05
37 P.Witton. h.54
23
BAB 3:
CERITA KUNJARAKARNA DHARMAKATHANA
3.1 SINOPSIS CERITA
Cerita Kunjarakarna Dharmakthana adalah kakawin besar nomor tiga di dalam
naskah Jawa Kuno. Dulu naskah itu bernama Cod. Or 5023.38 Dharmakathana
adalah “suatu cerita mengenai dharma atau ajaran suci”.39 Sampai masa kini cerita
itu belum diketemukan di sumber yang tidak berasal dari Indonesia40 terus
dipikirkan mungkin cerita itu mulai di Indonesia dan hanya dipengaruhui oleh
agama-agama negara lain. Versi yang diperiksa dalam laporan ini adalah syair
yang dikarang oleh Mpu Dusun. Pak Tom Hunter, ahli sejarah, menjelaskan teori
Mpu adalah gelati yang dipakai oleh pendeta yang diutamakan. Pendeta itu
mungkin mewarisi hukum Jawa Kuno yang didasarkan dalam cerita-cerita dari
India, misalnya Ramayana dan Mahabrata. Jadi Kunjarakarna mungkin berasal di
Indonesia tetapi didasarkan dari cerita India.
Relief-relief Kunjarakarna di Candi Jago mulai di teras pertama di pojok Utara-
Timur dan dibaca oleh cara Praswyu yaitu relief-reliefnya dibaca dari sisi kiri ke
sisi kanan. Cara Praswyu adalah pertanda candi itu berfungsi sebagai pemakaman.
Ada satu cara lain untuk menyusun relief-relief yang bernama Pradaksina. Untuk
cara itu relief-reliefnya dibaca dari sisi kanan ke sisi kiri. Candi-candi yang
menggunakan cara ini adalah candi yang untuk memberi penghormatan kepada
38 A.Teeuw. h.VII
39 P.J.Zoetmulder. Kalangwan: sastra Jawa kuno selayang pandang Djambatan. Indonesia 1983.
h.470
40 A.Teeuw. h.2
24
dewa.41 Terus cerita Kunjarakarna berhenti di pojok Utara-Barat dan dilanjutkan
di lajur antara teras pertama dan kedua. Bagian kedua itu mulai di atas akhir
bagian pertama di pojok Utara-Barat dan selesai di sebelah selatan.
Cerita yang digambarkan dalam relief-relief di Candi Jago agak berbeda daripada
syair. Cerita di relief disingkat dan disederhana karena syair terlalu panjang untuk
mengambarkan semua, maka ajaran yang panjang dari Yama dan Wairocana
dilupakan. Penyederhanaan itu mungkin dilakukan karena seniman yang memahat
relief mengira orang yang melihat pahat-pahat itu bisa memecahkan itu adalah
cerita Kunjarakarna dan mereka seharusnya sudah tahu cerita dan ajarannya.42
Relief itu hanya untuk menghiasi Candi Jago dan membuat orang yang
mengunjungi candi itu mengingat cerita itu dan ajarannya.
Cerita mulai dengan penyair yang meminta maaf kalau syairnya kurang
menghormati cerita itu. Cerita berisi sebagai berikut:
Kunjarakarna tinggal di Gunung Meru sendiri dan selalu memakai yoga untuk
meditasi dan beribadah ke Buddha. Dalam syair ini Kunjarakarna adalah yaksa
dan dia mau mengunjungi Wairocana untuk dapat kekuasaan untuk mengubah
rupanya yaksa.
41 Soekmono. h.245
42 A.Teeuw. h.207
25
Satu perbedaan yang menarik adalah di dalam syair Kunjarakarna karena yaksa
bisa menyeberang ke tempat Wairocana tetapi di dalam relief dia tidak digambar
sebagai yaksa dan berjalan kaki.
Waktu datang di tempat Wairocana, Kunjarakarna memberi penghormatan kepada
Wairocana dan menjelaskan alasan dia mengunjungi. Wairocana menyuruh
Kunjarakarna ke neraka untuk mengerti hukuman kalau tidak mengikuti ajaran
Buddha dan minta terlalu banyak kekuasaan. Sedang perjalanan dia berhenti di
persimpangan dan bertemu seorang yaksa yang menjelaskan jalan-jalan itu
menuju kemana.
Ke arah Timur adalah daerah Iswara dan itu untuk orang yang dalam
kehidupannya kuat beribadah. Jalan ke arah Utara Wisnu memerintah pahlawan
perang sementara Mahadewa ke sebelah Barat adalah daerah pahlawan yang
bekerja untuk menolong dunia. Tetapi tujuan Kunjarakarna terletak di arah
Selatan lewat jalan untuk pendosa yang mau ke neraka, tempatnya Yama.
Syair kemudian menggambarkan kengerian neraka. Misalnya Pohon yang berdaun
senjata pisau belati dan rumput pedang atau kawah tembaga yang berkepala sapi
yang duduk di bawah pohon senjata. Kawah itu bernama Gomuka, atau kawah
neraka.
Waktu diajari Yama tentang hukuman pendosa dia diberi tahu dewa Purnawijaya
akan ke neraka karena dia tidak mengikuti ajaran Buddha. Ada satu kawah yang
26
kosong untuk dia. Dari neraka Kunjarakarna langsung ke tempat Purnawijaya
untuk memperingatkan nasibnya. Kemudian Kunjarakarna dan Purnawijaya ke
tempat Wairocana untuk minta maaf atas dosanya.
Sebagai hukuman Purnawijaya disuruh masuk neraka untuk 9 malam. Dia pulang
dan cerita ke istrinya apa yang terjadi dan menyuruh dia menjaga badan dia
selama tidurnya waktu dia mati dan masuk neraka. Di neraka Purnawijaya
meditasikan ajaran Buddha dan karena itu dia tidak disakiti oleh kengerian neraka.
Malahan neraka berubah dan berkembang untuk daerah yang indah sekali.
Misalnya pohon pisau belati diganti dengan pohon yang indah dan berbuah batu
pemata.
Pada hari nomor 10 dia kembali ke surga dan istrinya sangat gembira.
Purnawijaya, isterinya dan semua dari surga Widyadhara ke tempat Wairocana
untuk memberi kehormatan dan mengucapkan terima kasih atas ajarannya.
Disana Wairocana menjelaskan mengapa Purnawijaya hanya di neraka selama 9
hari dan menceritakan tentang kehidupan dulu Kunjarakarna, Purnawijaya dan
istrinya dan pengaruh tindakan dalam kehidupan itu terhadap kehidupan mereka
sekarang. Namun, ajaran itu tidak digambarkan dalam relief mungkin karena
terlalu panjang.
Cerita selasai dengan Purnawijaya menyuruh orangnya (yaitu masyarakat
Gandharwa) pulang ke surga Widyadhara karena dia dan isterinya mau pergi ke
Gunung Semeru untuk beribad dan menyoroti kehidupannya tentang pelajaran
27
ajaran Buddha. Kunjarakarna, di tempat Wairocana sudah mencapai kebebasan
dan nanti di Gunung Semeru Purnawijaya dan isterinya juga mencapai nirvana.
Terhadap relief-relief di Candi Jago cerita berakhir dengan gambar Purnawijaya
dan isteri waktu mereka mau ke Gunung Semeru tetapi karena banyak relief dari
sisi Selatan sudah hilang tidak bisa tahu apakah itu terakhir cerita apa tidak.43
3.2 TUJUAN CERITA
Untuk mulai proses pengertian cerita Kunjarakarna mungkin seharusnya
memahami agama Buddha dulu. Dikatakan pangeran India, Siddhartha Gautama
mendirikan agama Buddha sekitar abad 6.44 Menurut dia penderitaan kehidupan
disebabkan oleh selera manusia dan untuk kebebasan dari penderita itu manusia
harus mengatasi selera-seleranya.45 Tujuan itu adalah dilepaskan dari pengulangan
kelahiran,46 kelepasan itu bernama Nirvana. Proses untuk mencapai Nirvana
dipanggil 8 cara , yaitu delapan tindakan yang harus dikuti dalam kehidupannya.
Yaitu kebenarnya dalam pengertian, pemikiran, pembicaraan, tingkah, mata
pencaharian, pengusahaan, perhatian dan konsentrasi.47 Ajaran-ajaran itu
termasuk Dharmma, Pak Tom Hunter mengambarkan Dharmma sebagai cara
tindakan yang benar di dalam kehidupannya. Ada banyak ajaran lain tetapi ajaranajaran
itu yang terpenting terhadap cerita Kunjarakarna.
Tema yang terpenting dalam cerita Kunjarakarna adalah ajaran nirvana yang
dicapai lewat penerimaan ajaran Dharmma dari Waironcana dan mendapat
43 Semua bab 3.1 didasarkan dari Kunjarakarna Dharmakathana oleh A.Teewu
44 P.Witton. h.54
45 P.Witton. h.54
46 A.Shalaby. Perbandingan Agama: Agama-agama Besar di India (Hindu/ Jaina/ Buddha). P.T.
Bumi Asara. Jakarta 2001. h.130
47 P.Witton. h.54
28
kebaikan hatinya. Dalam syair itu, contohnya kelepasan itu bisa dilihat di akhir
cerita waktu Kunjarakarna dan nanti Purnawijaya meloloskan diri dari perbudakan
kehidupan.48 Selain itu ajaran Karma juga ada di dalam cerita Kunjarakarna. Satu
contoh akibatnya Karma bisa dingerti lewat cerita Waironcana tentang kehidupan
dulu Kunjarakarna dan Purnawijaya dan pengaruh tindakan di hidup itu terhadap
hidup sekarang.
Konsepsi Dharmma benar-benar mulai di dalam agama Buddha. Dikatakan dewa
“Buddha pernah bersabda:
‘Bila Anda melihat saya, maka Anda melihat Dharmma (ajaran
Buddha) dan bila Anda melihat Dharmma, maka Anda akan
melihat saya.’49”
Dalam semua buku-buku tentang agama Buddha konsepsi Dharmma selalu ada
dan karena tema yang terutama di dalam cerita Kunjarakarna adalah Dharmma
maka bisa disimpulkan itu adalah cerita Buddhistis. Namun ada berberapa aspekaspek
yang membuat cerita itu tidak Buddhistis murni.
Pengaruh agama Hindu bermuncul di dalam diskripsi-diskripsi neraka karena
neraka-neraka itu lebih bersifat seperti kepercayaan Hindu. Selain itu Panteon
Hindu juga disebutkan. Ajaran tentang lima atma dan san wisesa atau komposisi
manusia berdasar dalam kepercayaan adat Jawa.50 Fakta-fakta itu mungkin
menuju ahli sejarah untuk percaya cerita itu berasal dari Indonesia karena hanya
ada kemungkinan kecil kepercayaan adat khususnya Jawa Timur bisa masuk
negara lain dan ceritanya. Pada zaman dulu India sudah kuat berdasarkan dalam
48 A.Teeuw. h.6
49 K.Armstrong. Buddha. Bentang Budaya. Yogyakarta 2003. h.XV
50 A.Teeuw. h.9
29
agama Hindu dan Buddha lebih mungkin waktu ajaran-ajaran dari India diterima
oleh orang Jawa, kepercayaan adat Jawa dicampur dengan ajaran itu untuk
mengarangkan cerita itu. Campuran itu mungkin membuat transisi ke agama
Hindu dan Buddha lebih muda.
3.3 KENAPA PILIH CERITA KUNJARAKARNA UNTUK CANDI JAGO
Ada kemungkinan besar cerita itu tidak dipilih oleh Raja Wisnuwardhana , lebih
mungkin oleh pendeta-pendeta yang mengurusi pembangunan Candi Jago. Kalau
begitu, mereka harus memilih cerita yang relevan untuk masyarakat saat itu dan
yang memberi pelajaran juga. Dari sifatnya cerita Kunjarakarna termasuk
golongan cerita Buddha, hanya waktu memeriksa cerita itu bisa dimengerti adalah
pengaruh agama lain. Jadi karena Candi Jago adalah candi Buddha untuk Raja
Wisnuwardhana cerita itu sangat cocok. Itu mengajar apa yang terjadi kalau tidak
ikut ajaran Buddha, dan gambar-gambar ngeri sekali. Hukuman itu dibandingkan
dengan Raja Wisnuwardhana yang mungkin mencapai Nirvana dan didewakan
sebagai Amogapasha, itu adalah contoh apa yang mungkin terjadi kalau benarbenar
percaya.
Mungkin aspek yang paling penting sudah disebut. Cerita Kunjarakarna
mencampurkan kepercayaan Hindu, Buddha dan adat Jawa Timur dan oleh karena
itu mungkin lebih muda untuk masyarakat Majapahit mengerti dan menerima
ajaran-ajaran itu. Kalau pendeta-pendeta yang menguruskan Candi Jago memilih
cerita yang terkenal di India tetapi tidak di Indonesia, itu membuat masalah waktu
cerita itu dipahat sebagai relief. Itu lebih sulit untuk orang-orang umum Indonesia
30
mengerti tokoh-tokoh atau tujuan dari relief saja. Seperti di Kunjarakarna, kalau
belum mengetahui cerita, sulit untuk mengerti apa yang terjadi di dalam gambargambar
relief.
Mengenai alasan kebenaran tentang pilihan Kunjarakarna untuk menghiasi Candi
Jago, tidak mungkin bisa tahu. Ada banyak fakta yang mempengaruhi alasan itu.
Misalnya mungkin pendeta itu tidak berasal dari luar negeri dan belum belajar
cerita-cerita dari India. Kalau itu, cerita Kunjarakarna benar-benar mulai di
Indonesia. Atau mungkin itu tidak pendeta yang memilih tetapi seorang raja atau
keluarga Raja Wisnuwardhana. Atau seperti sudah disarankan bahwa relief-relief
hanya dipahat sewaktu direnovasi, maka tidak relevan untuk masyarakat Raja
Wisnuwardhana tetapi untuk masyarakat saat itu. Alasan yang benar mungkin
sudah hilang selama-lamanya dan sekarang hanya bisa diterka apa yang terjadi di
zaman dulu.
31
BAB 4:
RELEVANSI CANDI JAGO DALAM
KEHIDUPAN MASYARAKAT MASA KINI
4.1 FUNGSI CANDI JAGO DALAM KEHIDUPAN ZAMAN SEKARANG
Seperti negara-negara lain di seluruh dunia, kemajuan teknologi dan masyarakat
menyebabkan Indonesia mengalami perkembanan dan perubahan. Walaupun
perkembangan masyarakat itu penting untuk mengikuti kemajuan negara lain, ada
beberapa akibat-akibat yang buruk. Contohnya dalam proses kemajuan banyak
aspek budaya dilupakan karena dirasa ketinggalan zaman. Termasuk candi yang
ditinggalkan dan dihancurkan oleh alam atau pencuri-pencuri. Contoh lain adalah
banyak kesusastraan yang hilang atau dikira tidak diperlukan oleh masyarakat
sekarang. Namun di pihak lain ada golongan kecil yang mencoba mengerti sejarah
kuno Indonesia dan mengajarkan kepada masyarakat tentang pentingnya
purbakalah dan peninggalannya.
Terhadap masyarakat sekarang di kota Malang pengertian tentang candi Jago
kurang kuat. Hasil-hasil dari angket banyak orang yang beragama Buddha, Hindu
dan Islam menarik sekali. Penganut Hindu adalah yang paling banyak orang yang
sudah mengetahui candi Jago. Orang agama Buddha juga ada banyak yang sudah
tahu tetapi orang agama Islam kurang dari 50% sudah tahu Candi Jago. Dari yang
sudah mengetahui, mereka sudah pernah dengar tentang Candi Jago, mungkin
setengah dari mereka itu tahu letaknya dan hanya golongan yang kecil sekali
sudah pernah kesana.
32
Tentang pertanyaan apakah Candi Jago adalah candi Buddha, candi Hindu atau
candi campuran kedua agama itu, orang Islam ada bagian terbesar yang percaya
itu adalah candi Hindu dan tidak ada satu orang yang berpendapat itu adalah candi
Buddha. Sedangkan orang Buddha dan orang Hindu berdua ada kebanyakan yang
mengatakan itu adalah candi campuran. Dua contoh adalah orang Buddha dan
orang Hindu yang mengatakan itu adalah candi campuran karena
“Candi Jago merupakan hasil kebudayaan kerajaan Majapahit
yang merupakan kerajaan yang rakyatnya penganut agama
Hindu dan ada yang beragama Buddha”
“Bercampurnya kedua agama karena sinkretisme kedua
agama”
Menurut satu Bikhsu, dari Vihara Buddha, Candi Jago bukan candi
Buddha tetapi ada satu lain yang berpendapat bahwa itu adalah candi
campuran. Tetapi kedua Bikhsu itu tidak tahu banyak tentang Candi
Jago.
Terhadap alasan Candi Jago dibangun mungkin seperempat orang tahu sedikit
tetapi biasanya mereka hanya terka dari pengetahuan yang mereka sudah punya
tentang sejarah candi lain. Misalnya:
“Untuk menyenang kerajaan-kerajaan pada zaman dulu”
“Alasan dibangun Candi Jago untuk tempat penyimpanan relik
dan tempat pemujian”
33
“kemungkinan pada jaman dahulu pernah adanya
perkembangan agama Hindu di Jawa Timur ini sehingga
dibangun Candi Jago sebagai simbul”
“Untuk kebersamaan antara Hindu dan Buddha guna
menerapkan toleransi yang sejati dan tulus pada kedua agama”
Hasil yang sangat mengherankan ditemukan waktu melakukan angket di desa
Tumpang. Seperti diperkirakan orang-orang di Tumpang tahu letaknya Candi Jago
dan hampir semua sudah pernah mengunjungi itu. Tapi fakta yang mengherankan
adalah sangat sedikit orang tahu Candi Jago dibangun untuk pendharmmaan Raja
Wisnuwardhana. Mereka tahu itu terletak di Jalan Wisnuwardhana atau Jalan
Candi Jago tetapi mereka tidak mengerti hubungan sejarah Candi Jago dengan
nama jalannya. Sebetulnya pengertian masyarakat Tumpang terhadap Candi Jago
kurang kuat, sama dengan masyarakat Malang kota. Satu fakta lagi yang menarik
dikasih tahu dari penjaga. Candi Jago sering dipanggil Cungkup oleh penduduk
Tumpang, dan artinya itu adalah kubah yang menutupi kubur. Jadi itu aneh sekali
kebanyakan masyarakat Tumpang tidak bisa menghubungkan Cungkup dengan
Jalan Wisnuwardhana dan menerka alasan candi itu dibangun.
Selama penelitian ini ada dua pertanyaan yang paling penting. Apakah Candi Jago
masih dianggap tempat suci dan apa relevansi untuk zaman sekarang? Untuk
menjawab pertanyaan itu, tiga golongan diberi angket yaitu orang Buddha, Hindu
dan Islam. Agama-agama itu adalah agam yang paling berkaitan dengan Candi
34
Jago. Menurut orang Buddha dan Hindu, Candi Jago dan candi-candi yang lain
adalah tempat suci. Ada berberapa alasan, termasuk:
“Mungkin candi-candi tersebut sebagai tempat suci dan tempat
suci tersebut memiliki nilai tersendiri sebagai tempat suci”
“Karena dianggap suci dimana dahulu pada kerajaan-kerajaan
candi tersebut sebagai simbul kerajaan atau tempat raja”
“Karena candi itu merupakan peninggalan dan biasanya candi
itu memiliki sejarah yang begitu mendalam, seperti di Candi
Borobudur, yang merupakan peninggalan agama Buddha”
“Karena dipakai sebagai tempat pemujaan (sembahyang)”
Namun di dalam golongan orang Islam ada dua pandangan. Bagain terbesar tidak
setuju Candi Jago adalah tempat suci karena mereka tidak ikut menyakini
kepercayaan agama lain. Akibatnya mereka tidak menganggap candi-candi
sebagai tempat suci hanya memikirkan sebagai peninggalan bersejarah. Ada
berapa mahasiswa dari UIN (Universitas Islam Negeri) yang tidak menganggap
candi sebagai tempat suci tetapi mereka percaya ada sesuatu mistik yang
melindungi tempat-tempat seperti itu. Tetapi di pihak lain ada golongan kecil
yang menghormati candi-candi kuno sebagai tempat suci untuk orang yang ikut
agama candi itu. Jadi tempat-tempat itu, seperti Candi Jago, harus dihormati untuk
menghindari penghinaan terhadap kepercayaan orang yang beragama lain.
Tentang relevansi untuk masa kini banyak orang dari semua golongan
mengatakan itu adalah tempat pemujaan tetapi penjaga Candi Jago dan Pak Soleh
35
kedua bilang kepercayaan itu salah. Saat ini sebagian besar masyarakat Tumpang
beragama Islam dan jarang ada orang Hindu atau Buddha yang mengunjungi
candi itu. Pak Soleh berpendapat bahwa ada kemungkinan mereka takut karena
sekarang Tumpang adalah daerah Islam.
Dari hasil angket-angket bisa melihat bahwa makna dan fungsi Candi Jago
berubah sejak zaman Majapahit. Sekarang Candi Jago lebih dianggap sebagai
simbol sejarah Indonesia dan oleh karena itu fungsinya adalah tempat
mempelajari sejarah zaman dulu, yaitu untuk penelitian seperti laporan ini. Untuk
masyarakat umum Candi Jago adalah tempat pariwisata. Kalau mau jalan kaki
dari jalan besar ke Candi Jago hanya mungkin lima minit tetapi harus lewat
banyak dokar-dokar yang menunggu penumpang dan kalau orang bule lewat
tempat parkir dokar yang selalu diganggu oleh kusir dokar itu untuk naik dokar
keliling Candi Jago dan desa Tumpang. Dari buku tamu di Candi Jgo itu bisa
dilihat kadang-kadang ada turis yang mengunjungi candi itu tetapi hanya sedikit
kalau dibandingkan dengan candi-candi seperti Candi Singosari atau yang lain
yang di dalam pusat Malang.
Anak remaja yang sering kumpul di warung di sebelah kiri Candi Jago
mengatakan sekarang itu terkanal sebagai tempat pacaran. Itu dibetulkan oleh
salah satu penjaga. Dulu kalau naik ke tingkatan yang teratas bisa turun, lewet
lubang, dan masuk di dalam candi. Mungkin tempat itu digunakan untuk
menyimpan jenazah abu Raja Wisnuwardhana dan untuk keluarga yang mau
mengunjungi abu-abunya. Namun sekarang lubang itu harus ditutup karena itu
36
sering dipakai untuk pacar-pacar yang mau sembunyi atau untuk remaja yang mau
mengunakan narkoba atau minum miras.
Dari observasi di Candi Jago itu bisa dilihat untuk anak-anak kecil dari sekolah
SD yang terletak di seberang jalan, Candi Jago hanya adalah tempat mainan
bukan tempat suci. Hasil-hasil ini menekankan fakta yang menyedihkan. Yaitu
tempat yang dulu suci karena kuburan seorang Raja sekarang sudah hilang
kesuciannya dan tidak dipakai untuk upacara atau bersembayang untuk memberi
penghormatan kepada dia.
4.2 RELEVANSI CERITA KUNJARARAKARNA DALAM MASA KINI
Dalam zaman dulu cerita seperti Kunjarakarna digunakan untuk mengajari
masyarakat tentang cara penghidupan yang paling benar. Namun, masyarakat
memaju dengan dunia yang bermaju dan relevansi cerita-cerita seperti
Kunjarakarna hilang untuk masyarakat itu. Karena agama Buddha dan Hindu
diganti oleh agama Islam, sebagai agama yang terkuat, ajaran seperti dharmma
hilang makna dan metode memakai cerita untuk mengajar dianggap model kuno.
Pak Tom Hunter berpendapat bahwa cerita Kunjarakarna tidak begitu relevan
untuk masyarakat sekarang karena kebanyakan tidak beragama Hindu atau
Buddha.
Dari angket-angket yang diedarkan ternyata hanya dua orang dari Tumpang sudah
mengetahui cerita Kunjarakarna sementara tidak ada satu dari Malang. Mereka
tahu cerita itu dari Candi Jago tetapi tidak memahami pesan dan ajarannya. Hasil
37
ini menunjukkan masyarakat masa kini sudah berubah dan maju dan sekarang
cerita dari zaman dulu tidak relevan untuk bagian terbesar rakyat umum sekarang.
Di pihak lain dalam tahun-tahun belakangan ini cerita Kunjarakarna muncul lagi
dalam rupan wayang lakon dan pentasan di Jawa disebabkan oleh kebangkitan
agama Buddha. Ada satu contoh di Tumpang yang membenarkan pandangan itu.
Di Padepokan Seni Mangun Darma Pak Soleh sering memakai cerita
Kunjarakarna, dan cerita yang lain, dari Candi Jago di dalam keseniannya. Dalam
wawancara dia menjelaskan tentang dia merasa berkaitan dengan cerita
Kunjarakarna dan itu sering sebagai inspirasi untuk dia. Terhadap cara
Kunjarakarna digunakan dalam seninya, mulai sebagai wayang dan berkembang.
“Kemudian dari wayang itu ke wayang wong, semenjak itu
menjadi wayang orak yang akhirnya juga dipotong-potong
menjadi tari”
Ada kemungkinan cerita Kunjarakarna masih dipakai didaerah lain atau bidang
lain tetapi dalam konteks zaman ini cerita itu paling penting dibentuk relief. Di
dalam adegan-adegan di relief itu, ahli sejarah bisa belajar aspek-aspek apa yang
paling penting untuk masyrakat Majapahit. Dari Kunjarakarna ahli bisa
memahami konsep dharmma dan hukuman kalau tidak mengikuti ajaran itu. Oleh
karena itu mungkin cerita Kunjarakarna paling relevan untuk bidang sejarah atau
kesenian dan makna itu sekarang sudah hilang untuk masyarakat umum.
38
BAB 5:
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Candi Jago adalah salah satu candi yang merupakan peninggalan dari zaman dulu.
Oleh karena itu Candi Jago penting untuk pengertian tentang masa Majapahit.
Candi itu menjadi jawaban untuk kegaiban sejarah . Alih-alih sejarah bisa
memeriksa candi-candi untuk mengerti aspek-aspek zaman dulu. Candi Jago dan
candi-candi yang lain adalah satu cara masyarakat umum bisa belajar sejarah
dalam konteks yang mungkin lebih menarik daripada belajar dari buku sejarah
yang membingungkan atau terlalu detail.
Jadi Candi Jago adalah alat untuk mengerti sejarah tetapi sejarah itu juga penting
untuk Candi Jago. Kepercayaan zaman itu adalah alasan Candi Jago dibangun dan
sejarah zaman dulu penting karena peristiwa-peristiwa yang terjadi di dalam
sejarah menyebabkan Indonesia berkembang dan memaju sampai mengakibatkan
Indonesia yang berada masa kini. Sejarah juga adalah satu alasan Candi Jago dan
candi-candi yang lain masih relevan.
Satu aspek alih sejarah menyelidiki waktu mau mengerti zaman dulu adalah
relief-relief yang ada di candi. Kunjarakarna bukan hanya cerita yang menghiasi
Candi Jago tetapi dalam zaman dulu itu juga alat untuk mengajari masyarakat
umum tentang agama. Lewat pahat-pahat, orang yang mengunjungi Candi Jago
39
untuk memberi kehormatan kepada Raja Wisnuwardhana, bisa ingat tujuan dan
ajaran cerita itu.
Sekarang cerita Kujarakarna masih sebagai alat mengajar tetapi mengajar agama
terhadap sejarah masyarakat Majapahit. Cerita itu tidak relevan sebagai alat
mengajar agama Buddha salam masa kini karena bagian terbesar masyarakat
mengikuti agama Islam. Ahli sejarah atau masyarakat umum bisa belajar
kepercayaan agama itu atau aspek budaya tetapi sekarang juga harus dingerti
dalam konteks sejarah.
Seperti tersebut di dalam bab-bab yang lalu fungsi candi-candi dalam konteks
masa kini sudah berubah. Terhadap apakah perubahan itu lebih baik atau buruk,
sulit untuk menjawab. Mungkin itu hanya berbeda. Dulu Candi Jago dihormati
sebagai tempat suci tetapi sekarang dihormati karena adalah peninggalan zaman
yang menyimpan jawaban tentang pertanyaan sejarah. Tetapi kalau dibandingkan
pada masyarakat umum Majapahit dan masyarakat umum masa kini kehormatan
yang dulu ada berbeda. Dulu mungkin ada lebih banyak yang menghormati Candi
Jago dan respek itu lebih kuat daripada sekarang. Maka karena fungsi berubah,
makna kepada masyarakat Tumpang juga berubah dan kesuciannya hilang karena
Indonesia berbeda.
Perubahan makna candi dalam konteks masa kini sudah menolong membebaskan
candi-candi Indonesia dari posisi terpencil dalam arsitektur sejaman di Asia dan
memperkuat sejarah budaya dan sejarah kesenian negaranya.51
51 Soekmono. h.253
40
5.2 SARAN
Selama penelitian ini ada berberapa masalah yang muncul. Walaupun ada orang
yang masih meneliti Candi Jago dan candi-candi lain yang ditinggalkan dari
zaman dulu, golongan itu kecil sekali. Oleh karena itu tidak ada banyak sumbersumber
tentang sejarah dan makna yang tersedia untuk masyarakat umum.
Lagipula karena kebanyakan orang zaman ini beragama Islam jadi makna dan
sejarah tidak relevan untuk mereka. Fakta-fakta itu membuat informasi yang
penting tentang zaman Majapahit, yaitu sejarah orang-orang Indonesia, hilang.
Sehingga candi tidak lagi dianggap hanya sebagai tempat wisatawan masalahmasalah
sejarah akan dianggap tidak lagi penting dan candi-candi akan dilupakan.
Masyarakat sekarang harus mencoba memelihara dan mengerti peninggalan
zaman karena sejarah itu menyebabkan Indonesia menjadi Indonesia yang berada
masa kini. Mungkin kalau mata pelajaran tentang sejarah kuno lebih tersedia dan
anak-anak generasi ini bisa menolong informasi sejarah tidak dihilangkan selamalamanya.
Sebagai penutup, Candi Jago dan candi-candi yang lain tidak dimengerti oleh
kebanyakan orang Indonesia masa kini. Seharusnya ada lebih banyak pelajaran
tentang sejarah dan makna Candi Jago, dan juga tentang relief-relief atau arcaarca
yang menghiasi candi itu karena bukan hanya zaman depan yang penting
tetapi zaman yang lalu juga. Peninggalan seperti itu penting sekali untuk budaya,
kesenian dan kesusatraan Indonesia. Kalau itu dilupakan sebagian negara itu juga
hilang dan itu menyedihkan sekali.
41
DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, Karen. Buddha, Bentang Budaya, Yogyakarta 2003
Fontein, Jan. Soekmono, R. dan Suleiman, Satyawati. Kesenian Indonesia
Purba (Zaman-zaman Djawa Tengah dan Djawa Timur), P.T. Caltex Pacific
Indonesia, 1972
Hunter Jr, Thomas. M. The Aridharma Reliefs of Candi Jago (paper di dalam
Society and Culture of Southeast Asia: Continuities and Change) New Delhi:
International Academy of Indian Culture and Aditya Prakashan 2000: 61-101
Kempers, A.J.Bernet. The Kunjarakarna Reliefs of Candi Jago, (paper di dalam
Kunjarakarna Dharmakathana: Liberation through the law of the Buddha)
Koninklijk Instituut Voor Taal-, Land- en Volken- (KITLV), Netherlands 1981
Kempers, Dr A.J.Bernet. Ancient Indonesian Art, N.V Boekhandel Antiquariaat
en Uitgerverij C.P.J van der Peet Amsterdam, Netherlands 1959
Shalaby, Prof. Dr. Ahmad. Perbandingan Agama: Agama-agama Besar di India
(Hindu/ Jaina/ Buddha), P.T. Bumi Asara, Jakarta 2001
Slametmulyana, Prof. Dr. Negarakretagama Dan Tafsir Sejarahnya, Bhratara
Karya Aksara, Jakarta 1979
Soekmono, R. Candi Fungsi dan Pengertian, Universitas Indonesia Jakarta, 1947
Sunyoto, Agus. Petunjuk: Wisata Sejarah Kabupaten Malang “Lingkaran Studi
Kebudaya Malang” 2000
Suwardono, S. dan Rosmiyah, Supiyati. Monografi: Sejarah Kota Malang, CV
Sigma Media, Malang 1997
Teeuw, A. dan Robinson, S.O. – Poem by Mpu Dusun. Kunjarakarna
Dharamkathana: Liberation through the law of the Buddha, Koninklijk Instituut
Voor Taal-, Land- en Volken- kunde (KITLV), Netherlands 1981
Witton, P. O’Carrol, E. dll, Lonely Planet Indonesia 7th Ed, Lonely Planet
Publications Pty Ltd, SNP SPrint, Malaysia, November 2003
Worsley, Peter. Narrative Bas-reliefs at Candi Surawana Dalam Marr, David G.
and A.C. Millner “South East Asia in the 9th to 14th Centuries” Singapore, 1986
Zoetmulder, P.J. Kalangwan: sastra Jawa kuno selayang pandang Djambatan,
Indonesia 1983
42
DAFTAR PUSTAKA INTERNET
Hindu-Buddhism Period of Indonesian Archaeology
http://www.arkeologi.net/classic.php Diakses tanggal 28-2-05
Candi Jago
http://hanacaraka.com/EJJago.html Diakses tanggal 28-2-05
Candi Jajaghu- Tumpang Malang
http://www.geocities.com/d3ja Diakses tanggal 19-4-05
43
LAMPIRAN A
Kompas- Candi Jago
KOMPAS
Sabtu, 25 Januari 2003
Dongeng yang Masih Bisu di Candi Jago
RELIEF-relief Candi Jago yang menuangkan kisah-kisah klasik dan mampu menjadi
sumber pengajaran moral secara universal, tentu saja tak dapat berbicara sendiri kepada
anak-anak sekolah yang kebetulan bermain di sana. Peranan lembaga sekolah
seharusnya mampu menjembatani kesenjangan pendidikan sejarah lokal bagi anak-anak
tersebut.
CANDI Jago yang dahulu bernama Candi Jajaghu ini berada di Tumpang, Kabupaten
Malang. Diperkirakan berdiri pada sekitar Abad XII, masa Kerajaan Singasari. Jaraknya
sekitar 22 kilometer dari tengah Kota Malang ke arah timur, atau arah menuju kawasan
Gunung Bromo-Semeru.
Meskipun bentuknya sudah tidak lagi utuh, candi itu masih tetap megah dan kokoh serta
menarik dikunjungi anak-anak. Meskipun mereka juga tinggal di sekitar candi, anak-anak
itu menjadi sekadar bermain untuk membunuh waktu keengganan berada di rumah.
Anak-anak bermain di Candi Jago tak ubahnya ketika bermain di suatu tumpukan batu
yang dianggap tidak memiliki arti sama sekali. Padahal, relief-relief di bebatuan candi di
Candi Jago itu menyuguhkan dongeng yang menarik bagi mereka. Namun, dongeng itu
masih bisu dan sama sekali belum memberi kekayaan batin bagi anak-anak.
Anak-anak itu begitu bebas bertingkah polah di tumpukan bebatuan candi. Mereka
bahagia karena bisa melepas kepenatan selama duduk di kursi kelas.
Anak-anak dengan meraba batu-batu candi akan memiliki pengalaman mengembangkan
imajinasi masing-masing. Lalu, melihat-lihat tumpukan batu yang simetris sehingga
tumpukan batu candi tak mudah roboh, suatu petualangan kecil bagi imajinasi seorang
anak yang sangat mengesankan.
Anak-anak itu juga sangat suka memanjat tumpukan batu atau dinding batu candi. Lalu,
mereka berpegangan satu sama lain di ketinggian candi. Dalam benak masing-masing
mungkin merasa takjub akan kemegahan Candi Jago ini, bagaimana pada zaman dulu
sudah ada karya cipta yang mengagumkan.
Akan tetapi, rasa takjub itu belum pernah ditelusuri oleh rasa keingintahuan masingmasing
yang mendalam tentang falsafah hidup atau ajaran moral yang ditawarkan
melalui candi tersebut. Khususnya dari relief-relief yang bisa menjadi petunjuk kehidupan
masa lampau.
Beberapa anak mengungkapkan bahwa mereka sama sekali tidak tahu akan adanya
peninggalan-peninggalan bermakna melalui tumpukan batu atau relief yang ada. Bahkan,
mereka tak akan pernah tahu adanya lima kisah klasik dari relief-relief candi tersebut,
meskipun mereka tinggal di lokasi yang berdekatan dengan candi itu.
Hal demikian di antaranya ada kekurangan dalam pengembangan kurikulum pendidikan
sejarah lokal. Menurut Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Malang (UM) Prof Dr HM
Habib Mustopo, pemerintah daerah, baik Kota maupun Kabupaten Malang, saat ini
belum sepenuhnya menggali pengembangan potensi-potensi pendidikan sejarah lokal.
Ini berbeda dengan wilayah lainnya, di antaranya seperti Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Mojokerto.
Ia mencontohkan, Bupati Mojokerto kini tengah memperbaiki materi pendidikan sejarah
lokal. Upaya tersebut melibatkan dirinya untuk penyusunan materi-materi kurikulum
pendidikan lokal.
44
Materi pendidikan itu diutamakan pada pengembangan sejarah Kerajaan Majapahit yang
pernah tumbuh dan berkembang di wilayah Mojokerto. Pengembangan pendidikan lokal
sangat terkait erat dengan pengembangan era otonomi daerah.
Pada era otonomi daerah dengan tren globalisasi informasi maupun yang lainnya,
pengembangan potensi-potensi lokal menjadi sangat mutlak diperlukan. Pengembangan
potensi lokal selain memberikan manfaat transformasi nilai budaya dan moral tersendiri,
juga meningkatkan eksistensi yang berguna dalam tata pergaulan wilayah.
"Pemerintah daerah di Malang ini sudah ketinggalan dengan pemerintah daerah lainnya
untuk pengembangan pendidikan sejarah lokal," kata Habib yang menyinggung pula
potensi pengembangan pendidikan sejarah lokal, terutama sejarah Kerajaan Singasari di
Malang.
Kepemimpinan Wali Kota Suyitno, yang mengemban motto Tribina Cita Kota Malang
sebagai kota pendidikan, pariwisata, dan industri, hingga kini sama sekali belum berbuat
banyak untuk mengembangkan pendidikan. Dan, pengembangan pendidikan sejarah
lokal Kerajaan Singasari memberikan peluang yang sangat luar biasa. Sebab,
peninggalan kuno berupa candi, termasuk Candi Jago atau yang lainnya, relatif banyak
bertebaran di seputar wilayah Malang.
POTRET kecil anak-anak bermain di Candi Jago, yang sekadar bermain dan ternyata
hanya untuk membunuh waktu sepulang sekolah, menunjukkan kebutuhan anak-anak
belum sepenuhnya terjawab oleh dunia pendidikan mereka. Padahal, peluang dan
potensi dari yang sudah dimiliki terbentang luas.
Anak-anak di mana pun cenderung menyukai dongeng atau kisah klasik berupa cerita
fabel (dunia hewan) dan sebagainya. Jika saja mereka memahami dongeng atau kisah
klasik yang terdapat di relief-relief batu candi, ada kemungkinan cara bermain mereka
berbeda dengan tampak sekarang.
Mereka selama ini hanya menaiki tumpukan-tumpukan batu candi itu, yang sebenarnya
dapat mengakibatkan kerusakan candi. Dan, sama sekali tidak menghiraukan relief-relief
yang ada di seputar dinding candi.
Ada lima cerita klasik dari relief-relief dinding candi tersebut. Pada kaki candi terdapat
relief yang mengisahkan cerita Kunjarakarna dan Pancatantra.
Cerita Kunjarakarna bertutur tentang seorang tokoh raksasa bernama Kunjarakarna yang
taat beribadah menyembah Sang Buddha. Suatu saat, Kunjarakarna ditunjukkan para
dewa keadaan mengerikan di neraka, tempat bagi orang-orang yang berdosa dan tidak
taat pada ajaran Buddha.
Kunjarakarna memiliki teman bernama Purnawijaya. Purnawijaya ini telah masuk neraka,
dan Kunjarakarna menyampaikan niatnya kepada para dewa untuk menyelamatkan
temannya itu.
Berkat kebaikan hati dan ketaatan Kunjarakarna pada Sang Buddha, niat menolong
Purnawijaya itu dikabulkan para dewa. Kisah ini sangat mengesankan, yaitu kisah yang
mengajarkan ketaatan pada sebuah nilai kebaikan (ajaran Sang Buddha). Ketika harus
menjumpai orang berdosa atau bersalah, bukanlah tindakan mencemooh yang dilakukan,
tetapi berusaha menyelamatkan.
Cerita Pancatantra masih pada kaki Candi Jago ingin menguatkan kesan keutamaan
sikap kebaikan, seperti cerita Kunjarakarna. Namun, Pancatantra merupakan cerita klasik
fabel, yang mengisahkan seekor kerbau menolong seekor buaya yang tertindih pohon
tumbang.
Kerbau tak tega menyaksikan penderitaan buaya yang tertindih pohon. Lalu, kerbau
menolong buaya. Akan tetapi, setelah ditolong, buaya malah ingin memangsa kerbau.
Sekuat tenaga sang kerbau menanduk buaya hingga ke daratan. Lalu, penduduk di
sekitarnya secara beramai-ramai datang dan membunuh buaya yang tak tahu membalas
kebaikan tersebut.
Relief dinding tingkat kedua mengisahkan cerita Parthayajna dan Arjunawiwaha. Kisah
tersebut berkesinambungan, yaitu mengisahkan tokoh-tokoh Pandawa yang dibuang ke
45
hutan selama 12 tahun. Pembuangan itu akibat kekalahan Pandawa bermain dadu
dengan Kurawa.
Pandawa yang diusir dari istana itu mengembara di hutan. Salah satu tokoh Pandawa,
Arjuna, melakukan tapa brata. Pada saat tapa brata itu, Arjuna memperoleh senjata yang
tak terkalahkan dari Dewa Siwa. Pada saat tiba Perang Bharatayudha antara Pandawa
dengan Kurawa, berkat senjata itulah Pandawa menjadi pemenang.
Cerita klasik ini setidaknya mengisahkan hal keinginan untuk memperoleh keutamaan
atau kemenangan selalu dibebani banyak rintangan dan cobaan. Tokoh-tokoh Pandawa
sebelum memenangkan Bharatayudha mengalami hal serupa, yaitu terusir dari istana
dan hidup terlunta-lunta di tengah hutan.
Relief dinding tingkat ketiga Candi Jago mengisahkan cerita Kresnayana dengan tokoh
Kresna pada masa muda. Ia juga tokoh utama di samping Pandawa di dalam Cerita
Mahabharata dari India.
Kresna muda itu selalu nakal. Dan, karena kenakalannya ia dikejar-kejar oleh raksasa
bernama Kalayawana. Kresna lalu berlindung kepada pendeta sakti Resi Mucukunda.
Kalayawana terus mengejar Kresna. Karena tak tahu sopan santun di hadapan Resi
Mucukunda, akhirnya Kalayawana mati terbakar api yang keluar dari jari Sang Resi.
Semua kisah cerita klasik di tiga lapis dinding Candi Jago ini memang sulit dipahami
ketika melihat relief-relief yang masih ada sekarang. Butuh perjuangan keras untuk
berimajinasi menyesuaikan alur cerita masing-masing.
Namun, dongeng di balik cerita yang terpahat pada dinding-dinding batu itu kini masih
terselamatkan. Di samping, dengan kondisi kesenjangan dunia pendidikan sekarang,
selamanya bagi anak-anak bangsa, dongeng itu akan tetap bisu sehingga tak berarti
apa-apa. (NAWA TUNGGAL)
46
LAMPIRAN B
Kompas- “De-Jawanisasi”
Kamis, 22 Juli 1999
Bagian Pertama dari Dua Tulisan
''De-Jawanisasi'' Politik Indonesia
Oleh Sindhunata
Tanggal 28 Desember 1930 - 2 Januari 1931 diadakan Kongres ''Indonesia Moeda'' yang
pertama di Solo. Dalam kongres tersebut terjadi perdebatan di sekitar soal peradaban
dan kebudayaan Indonesia. Sementara peserta berpendapat, peradaban Indonesia
sejauh dimengerti sebagai ''kesatuan kultural'' tidak pernah ada.
Mr RT Wongsonagoro Djaksodipoero dari Jong Java membantah pendapat tersebut.
Pada hematnya, Indonesia dapat membentuk kesatuan kebudayaan, betapa pun ada
perbedaan-perbedaan di dalamnya. Ia juga mengemukakan, nasionalisme Indonesia
bukanlah tujuan akhir dari suatu proses evolusi, nasionalisme adalah sarana untuk
sampai pada tujuan akhir yang sejati, yakni kemanusiaan sendiri. (J Th Petrus
Blumberger 1987).
Sayang, cita-cita di atas belum pernah tercapai dalam sejarah Indonesia. Bung Karno
malah memelesetkan nasionalisme menjadi tujuan pada dirinya sendiri. Nasionalisme
menjadi proyek kebanggaan politik semata-mata. Ketika ia harus memeras Pancasila
menjadi satu-satunya sila, bukan kemanusiaan yang disarikannya melainkan gotong
royong.
Kemanusiaan itu universal, gotong royong itu Jawa. Epistemologi Bung Karno sangatlah
Jawa, demikian pula tak kalah Jawanya adalah penerusnya, Soeharto. Kejawaan
memang telah mendominasi politik Indo-nesia lebih dari lima puluh tahun lamanya.
Sekarang dominasi itu mulai digugat. Orang Jawa dikesankan imperialis dan
intervensionis. Politik Orde Baru adalah politik Jawa, yang tertutup dan sentralistik.
Jawanisasi kehidupan politik itu kelihatan memendam bom waktu. Kini mulai muncul
gejala anti Jawa. Celakanya, gejala ini muncul berbarengan dengan bahaya perpecahan
di tingkat elite, sehingga tak mustahil sekelompok elite politik memanfaatkan sentimen
anti-Jawa untuk manuver politiknya.
Bagaimana gejala di atas mesti dicermati? Tulisan singkat berikut ini tak bermaksud
mengadakan analisis contoh-contoh peristiwa. Tulisan ini mencoba memahami tuduhan
dan prasangka negatif terhadap kejawaan, sejauh menyangkut kekuasaan dan
kehidupan sosial, lalu memeriksanya, apakah paham dan kebudayaan Jawa sendiri
memang potensial untuk menyebabkan prasangka-prasangka itu.
Pengagung-agungan kekuasaan
Untuk mengetahui konsep kekuasaan Jawa, perlu diteliti, filsafat sejarah apa yang
mendasari penulisan-penulisan historiografi Jawa. Studi C Berg pernah menarik suatu
kesimpulan keras, bahwa penulisan sejarah Jawa itu tidak didasarkan pada realitas
sejarah sendiri, melainkan pada pola-pola mitos. Akibatnya, faktisitas sejarah sulit dicek
kebenarannya. Lebih tepat adalah bertanya, bagaimana genesis dari delusi dalam
historiografi Jawa.
47
Contoh yang dikemukakan Berg adalah penulisan tentang Ken Angrok, sebagai leluhur
Wisnuwardhana dalam buku Nagarakrtagama. Ken Angrok atau Ranggah Rajasa adalah
raja Singosari, yang diperkirakan memerintah dari tahun 1222-1227, disusul anaknya
Anusanatha atau Nusapati pada tahun 1227-1248. Anehnya, kedua nama ini tidak
pernah tersebut dalam prasasti-prasasti. Menurut prasasti-prasasti, raja pertama
Singosari adalah Jayawisnuwardhana, yang baik dalam Pararaton mau pun dalam
Nagarakrtagama, disebutkan sebagai cucu Angrok atau Rajasa. Toh Prapanca,
pengarang Nagarakrtagama itu, memasukkan Ken Angrok dalam penuturan sejarahnya.
Menurut Berg, asal usul Angrok, yang sulit dibuktikan dari kenyataan itu, berkaitan
dengan mitos Mpu Sindok, yang dianggap leluhur Erlangga. Dengan demikian Angrok
mempunyai legitimasi mitis. Angrok sendiri dianggap sebagai titisan Batara Guru, yang
mempunyai dua istri, Uma dan Durga. Dengan meletakkan Wisnuwardhana dalam
deretan leluhur yang punya keilahian ini, maka Prapan-ca juga memberi Wisnuwardhana
watak keilahiannya.
Cara penulisan sejarah adalah khas Jawa. Historiografi gaya Prapanca itu dengan
mudah dapat dijumpai dalam komposisi Babad Tanah Jawi. Jelas sejarah Mataram pun
mengikuti pola historiografi itu. Genealogi Sultan Agung dibuat sedemikian rupa, sampai
ia dapat dikembalikan kepada Nabi Adam. Penulis Babad ingin memberi legitimasi mitis
bagi Sultan Agung dengan cara seperti Prapanca itu. Maka diciptakanlah Senapati
sebagai kakek leluhur Sultan Agung, seperti Angrok adalah kakek dari Wisnuwardhana.
Konsep pembesaran mitis macam itu juga dikenakan geografi kerajaan Majapahit.
Secara aktual, Majapahit mungkin hanya meliputi Jawa, Bali dan Madura. Tetapi di
samping itu ada the empire of the myth of Great Majapahit. Sulitlah kita membuktikan
adanya ''kewilayahan politik'' kerajaan Majapahit. Yang ada adalah pembesar-besaran
wilayah mitis. Yang terakhir ini tak menarik untuk studi sejarah empiris dalam arti sempit,
tetapi merupakan bahan yang sangat menarik bagi studi sejarah kultural, khususnya
untuk mengamati konsep kekuasaan Jawa sendiri.
Konsep historiografi macam ini mirip dengan konsep filsafat sejarah Yunani di zaman
Herodotus (484-420) dan Thukydides (465-395). Kendati sudah mengupayakan suatu
''sekularisasi sejarah'', konsep sejarah Herodotus dan Thukydides masihlah menganut
motif sejarah mitologis, yakni motif ''mengenangkan'' dan ''mengagungkan''. Dengan motif
itu, manusia yang fana ditinggikan sedemikian rupa, sehingga melebihi kemanusiaannya.
Motif mengenang dan mengagungkan itu jelas-jelas juga menjadi motif penulisan sejarah
Jawa, dari periode Jawa Kuno sampai penulisan model babad di zaman Mataram.
Pemberian watak dan kualitas mitologis pada tokoh-tokoh sejarah, seperti Jayabaya dan
Wisnuwardhana, atau Senapati dan Sultan Agung bertujuan semata-mata untuk memberi
keagungan dan kebesaran pada tokoh-tokoh itu serta tindakannya.
Nasionalisme mitis
Konsep penulisan sejarah macam itu berlanjut sampai ke zaman Indonesia modern ini.
Contoh menarik adalah penulisan sejarah Prof H Muhammad Yamin, misalnya ''Gajah
Mada, Tokoh Persatuan Nusantara'' (1945) dan ''6000 tahun Sang Merah Putih'' (1958).
Dalam rangka memperingati 30 tahun Sumpah Pemuda, Yamin menguraikan bahwa
Sang Merah Putih itu sudah ada sejak zaman prasejarah, merah putih ada dalam
kakawin-kakawin dan kidung-kidung. Jauh sebelum Negara Indonesia diproklamirkan,
merah putih telah menjadi warna, umbul-umbul atau piagam dalam kerajaan-kerajaan
Singosari, Majapahit, dan Mataram. Indonesia sendiri adalah Nusa Emas dan Perak,
yang identik dengan Kepulauan Merah-Putih, seperti dituturkan dalam syair Ramayana
karangan pujangga Walmiki.
48
Dalam perjuangan kemerdekaan, Soekarno sendiri dengan gigih hendak mengembalikan
zaman keemasan Majapahit ke zaman sekarang. Dalam de propaganda-vergadering PNI
di Batavia, Soekarno menegaskan, tidaklah benar, bahwa kedatangan orang-orang
Eropa telah memperbaiki peradaban dan ekonomi Indonesia. Jauh sebelum kedatangan
orang Eropa, Indonesia di zaman Majapahit telah menapaki tangga peradaban yang
tinggi.
Soekarno memang sangat obsesif akan zaman keemasan Majapahit. Sementara, seperti
pernah dikatakan sejarawan babad Peter Carey pada penulis, Soeharto sangat obsesif
pada kekuatan dan kegagahan Mataram, lebih-lebih zaman Sultan Agung dengan
konsolidasi tentaranya. Terjadi siklus mitis baru, seperti Wisnuwardhana mengkaitkan diri
dengan Angrok yang punya kekuatan mitis Mpu Sindok, Soekarno mengkaitkan diri dan
visinya dengan zaman keemasan Majapahit. Dan seperti Sultan Agung mengaitkan diri
dengan Senapati, Soeharto mengaitkan dirinya dengan zaman kegagahan Mataram.
Motif penulisan sejarah yang menjurus mitologis itu secara mencolok hidup kembali
dalam historiografi peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Sekarang
mulai muncul keraguan banyak sejarawan tentang kebenaran historigrafi itu. Banyak
diskusi-diskusi menunjukkan, bahwa historiografi Serangan Umum 1 Maret
bersumberkan pada subyektivitas Orde Baru untuk mengetengahkan kehebatan
Soeharto secara berlebih-lebihan. Pengagung-agungan tokoh Soeharto hampir
meniadakan peran tokoh-tokoh lainnya. Ini menunjukkan, bahwa sejarah telah
ditempatkan di bawah bayang-bayang kekuasaan Soeharto. Bagaimana sejarah dapat
dimitologisasikan sebegitu jauh? Alasan represi Orde Baru kiranya tidak memadai untuk
menjawab pertanyaan itu. Mentalitas historiografi kitalah yang membuat kita tidak kritis
terhadap historiografi yang manipulatif itu.
Banyak hal perlu dikaji ulang, jika kita hendak mendudukkan kebenaran empiris dalam
penulisan dan pemahaman sejarah kita, termasuk di dalamnya adalah konsep
nasionalisme. Apakah nasionalisme kita bukan suatu mistifikasi, akibat pengagungagungan
peristiwa masa lampau yang kebenarannya sulit dibuktikan? Apakah
nasionalisme kita kuat atau rapuh terletak pada jawaban atas pertanyaan itu.
Jelas, nasionalisme akan sangat rapuh, jika ia hanyalah hasil mistifikasi sejarah. Menurut
sejarawan terkenal dunia, Eric J Hobsbawn, nasionalisme adalah pengertian yang sama
sekali baru dalam sejarah dunia. Sebagai program bernegara, nasionalisme itu tak
pernah terjadi sebelum abad ke sembilan belas. Pada zaman sebelum abad sembilan
belas itu, tidaklah realistis membentuk suatu negara nasional yang homogen. Karena itu
adalah suatu keajaiban sejarah, bahwa Indonesia dengan keragaman yang luar biasa ini
dapat menjadi sebuah negara nasional.
Namun keajaiban itu akan buyar bagaikan mimpi, jika nasionalisme hanya kita
pertahankan dengan mitos-mitos lama, yang secara historis tak pernah ada.
Nasionalisme itu harus kita kerjakan, dan mengingat nasionalisme berada di tanah yang
demikian pluralistis, maka tak ada lain untuk mengerjakannya kecuali lewat demokrasi.
Upaya ini pun harus diberi orientasi baru, yakni bahwa nasionalisme bukanlah tujuan
pada dirinya sendiri, melainkan sarana untuk mencapai kemanusiaan bagi setiap warga
negara.
Negara kekuasaan
Erat dengan konsep nasionalisme yang berbau mitis itu adalah konsep negara dalam
paham Jawa. Para pakar seperti Benedict Anderson (1972), Soemarsaid Moertono
(1968), dan Clifford Geertz (1980) sepakat, bahwa dalam paham Jawa, negara tidak
ditentukan oleh perimeternya tetapi oleh pusatnya. Wilayah dikontrol oleh pusat.
Kekuasaan pusat mengalir dalam gelombang fluidum ke periferi. Makin kekuasaan pusat
itu sakti dan berkarisma, makin ia bisa menguasai wilayahnya. Negara yang kuat, adalah
49
negara yang padang obore, artinya kekuasaan di pusat memancarkan sinarnya sampai
jauh ke luar. Dalam konsep negara demikian, kesatuan tidak pertama-tama dimengerti
sebagai kesatuan wilayah politis, tetapi sebagai pancaran kesaktian dari penguasa di
pusat. Maka penguasa sangat berkepentingan untuk mempersatukan negara, hanya
dengan demikian ia tidak kehilangan kesaktiannya dan dapat menunjukkan dirinya sakti.
Menurut Anderson, paham kekuasaan Jawa sangat gandrung dengan kesatuan itu.
Karena itu, perlawanan terhadap Republik Indonesia Serikat (1949-1950), bukanlah
semata-mata kecurigaan, bahwa negara-negara diperalat oleh Belanda untuk dijadikan
boneka-bonekanya, melainkan karena perasaan, bahwa bersatu itu sakti, dan
bermacam-macam berarti perpecahan dan kelemahan. Soekarno sendiri di satu pihak
selalu khawatir akan banyaknya partai. Di lain pihak, ia mau merangkul semua partai.
Akhirnya ia sendiri kehilangan kesabaran dengan segala proses demokratis lewat partaipartai
setelah Pemilu 1955. Ia mencetuskan Demokrasi Terpimpin. Kesatuan yang mitis
dan sakti itu dimasukkan ke dalam konsep demokrasi. Campuran ini dianggap sah,
karena kemanunggalan lebih penting daripada demokrasi.
Rezim Soeharto sama saja. Konsep yang melatarbelakangi Demokrasi Pancasila tak
ubahnya dengan konsep yang melatarbelakangi Demokrasi Terpimpin. Kesatuan
Nasional itu suci, tak boleh diganggugat. Maka Pancasila pun harus ditafsirkan secara
tunggal. Dan untuk memelihara kesatuan diciptakan kategori-kategori yang mirip
kategori-kategori ritual-religius, yakni SARA. Siapa melanggar SARA, ia tidak hanya
bersalah tetapi berdosa. SARA menjadi institusi yang demikian otonom dan otoriter,
karena SARA adalah hamba bagi kesatuan yang suci dan sakti. Orba juga menciptakan
birokrasi penjamin kesatuan itu, yakni Golkar.
Kesatuan mitis yang kejawen itu pula yang kiranya mendasari staatside integralistik, yang
dikemukakan Prof Dr Soepomo. Itu sangat jelas terbaca dalam kata-kata Soepomo pada
sidang BPUPKI, 31 Mei 1945: ... Semangat kebatinan, struktur kerohanian dari bangsa
Indonesia bersifat dan bercita-cita persatuan hidup, persatuan kawulo dan gusti, yaitu
persatuan antara dunia luar dan dunia batin, antara mikrokosmos dan makrokosmos,
antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya. Segala manusia sebagai seseorang,
golongan manusia dalam sesuatu masyarakat dan golongan-golongan lain dari
masyarakat itu dan tiap-tiap masyarakat dalam pergaulan hidup di dunia seluruhnya
dianggapnya mempunyai tempat dan kewajiban hidup (dharma) sendiri-sendiri menurut
kodrat alam dan segala-galanya ditujukan kepada keseimbangan lahir batin. Manusia
sebagai seseorang tidak terpisah dari seseorang lain atau dari dunia luar, golongangolongan
manusia, malah segala golongan makhluk, segala sesuatu bercampur baur,
bersangkut paut, segala sesuatu berpengaruh-pengaruhi dan kehidupan mereka
bersangkut paut. Inilah ide totaliter, ide integralistik dari bangsa Indonesia ... (Kutipan
Soepomo, dlm Adnan Buyung Nasution, 1999, 69-70).
Adnan Buyung Nasution menyebutkan, konsep negara integral itulah sumber dari
totaliterisme dalam UUD '45, yang kemudian memberi perspektif totaliter pula bagi
kekuasaan presiden. Nasution menunjukkan, betapa kelompok Jawa sangat dominan
dalam proses penyusunan UUD '45. Soepomo sen-diri adalah Ketua Panitia Kecil
Perancang UUD. Anggotanya antara lain adalah Prof Achmad Soebardjo. Sementara di
BPUPKI duduk banyak priyayi Jawa, seperti KRT Radjiman Wediodiningrat, RP Soeroso,
KRMT Wongsonegoro, R Soekardjo, R Sastromoeljo, KRM Sosrodi-ningrat. Mereka
semua adalah pendukung Soepomo. UUD '45 kita sebenarnya sangatlah njawani,
khususnya dalam hal memberi kekuasaan yang demikian besar pada presiden. Presiden
kita bagaikan raja Jawa, yang sakti, memancarkan kekuasaan dari pusat, dan kekuasaan
itu harus meliputi seluruh wilayah Nusantara.
50
LAMPIRAN C
Kompas- Padepokan Seni Mangun Dharma
Selasa, 07 Januari 2003
Penasaran pada Tari Topeng Malang
DATANG jauh dari Wisconsin, Amerika Serikat (AS), kemudian menetap dan
bersuamikan seniman Malang, Karen Elizabeth Schrieber (38) mengaku, sambil
mendalami berbagai jenis kesenian tradisional lain di Malang, sampai sekarang ia masih
mencari jawaban mengapa masyarakat Malang tidak menyukai tarian topeng malang
yang justru ia kagumi.
Dilahirkan pada tanggal 19 Desember 1964 di Wisconsin, Karen pernah tinggal di
Yogyakarta pada tahun 1969 karena mengikuti kedua orangtuanya, David Schrieber,
yang mengajar mata kuliah ekonomi dan bisnis di Universitas Gadjah Mada. Di
Yogyakarta, keluarga Schrieber sempat tiga kali bulan purnama menikmati sendratari
Ramayana di pelataran terbuka Candi Prambanan. Awal mula itu yang melahirkan hasrat
Karen terhadap seni tradisional Jawa, khususnya tari.
"Saya paling suka tarian Hanoman yang sigrak (bersemangat)," kata bungsu dari dua
bersaudara yang fasih berbahasa Jawa. Ayah-ibunya, David dan Janet Schrieber,
keturunan Jerman-Swiss yang kemudian menetap dan berkebangsaan Amerika.
Kakaknya, Peggy Schrieber, saat ini menetap di Colorado, Denver, AS, menjalani profesi
sebagai dokter bedah.
Saat itu Karen langsung meminta belajar menari, tetapi oleh guru tarinya tidak boleh
menarikan Hanoman. Ia hanya dibolehkan belajar untuk peran Trijata. Tokoh ini yang
senantiasa menemani Shinta, tatkala dalam penyekapan oleh Raja Rahwana di Alengka.
Orangtua Karen memberi kebebasan dan mendorong sepenuh hati pilihan hidup anakanaknya.
"Orangtua saya di Wisconsin sampai kini masih terheran-heran melihat yang
saya kerjakan, misalnya sebagai pesinden di Malang," katanya.
Karen sangat menyukai tokoh Hanoman, karena tokoh ini menyiratkan nilai
kepahlawanan sewaktu menyelamatkan Shinta. Gerakan tariannya pun penuh semangat.
Menurut Karen, karakter penuh semangat dan keras hati itu memang sesuai dengan
dirinya. Dari semangat dan kekerasan hatinya itulah, ia mau menanggalkan gairah hidup
kebanyakan perempuan di AS dan menjalani kehidupan di Malang sebagai seniwati
tradisional.
Hanya sekitar setahun ia bersama keluarganya tinggal di Yogyakarta. Kemudian ayahnya
pindah tugas mengajar di Universitas Indonesia di Jakarta. Selama dua tahun di Jakarta,
1970-1971, Karen di samping meneruskan studi formalnya, juga melanjutkan belajar
menari tradisional Jawa. "Di Jakarta saya diperbolehkan belajar tarian Hanoman. Tetapi,
saya lupa nama guru yang mengajari," ujar Karen mengenang.
Selepas tinggal di Yogyakarta dan Jakarta, Karen kembali ke tanah kelahirannya di
Wisconsin dan melanjutkan studi formalnya hingga lulus dari Universitas Wisconsin
jurusan sastra Inggris. Selama di universitas, ia selalu menyempatkan diri belajar
kebudayaan dari negara-negara di Asia Tenggara. Ia pun pernah mengambil salah satu
mata kuliah gamelan Jawa.
Setelah lulus dari Universitas Wisconsin, dengan beasiswa Karen melanjutkan studi ke
Universitas Virginia di jurusan antropologi. Inilah yang mengantar dia kembali ke
Indonesia, khususnya ke Malang.
PADA tahun 1990 dia mengikuti program beasiswa untuk penelitian antropologi di
Indonesia. Dia belajar bahasa Indonesia-nya di IKIP Malang (sekarang Universitas
Negeri Malang). Dua bulan belajar bahasa, dia pernah diajak ke lokasi kegiatan seni
51
tradisi di Malang, antara lain Padepokan Seni Mangun Dharma, Tumpang.
Di padepokan itu, ia dipertontonkan seni wayang topeng khas Malang. Seketika itu Karen
minta diajari tarian wayang topeng, yang menurut dia bersemangat. Ia lalu berguru
kepada pemilik Padepokan Mangun Dharma, Mohammad Soleh Adi Pramono. Keduanya
menikah tahun 1992, dan perkawinan ini dianugerahi dua putri yaitu Sonya (9) dan Kyan
Daru (5).
Untuk memenuhi kewajiban penyusunan tesis antropologi program magister Universitas
Virginia, Karen akhirnya meneliti wayang topeng dan membandingkannya dengan seni
jaran kepang. "Proses ingin meneliti dan belajar terhadap bentuk dua kesenian ini sama.
Saya melihat, wayang topeng yang kurang diminati sementara jaran kepang banyak
diminati masyarakat," kata Karen.
Di mata Karen, seni tari wayang topeng maupun kisah-kisah lakonnya sangat menarik
dan mudah dipahami. Dari sifat dasarnya yang keras dan penuh semangat, Karen tak
berhenti mengembangkan kemampuan menguasai tarian wayang topeng dan sering
mementaskan kemampuan itu dalam berbagai acara, khususnya di Malang dan
sekitarnya.
Dari sinilah mengalir berbagai proses unik dari perjalanan profesi sebagai penari wayang
topeng malangan. Dari sekian banyak pentas yang ia lakukan, seringkali penonton tarian
wayang topengnya tak puas sebab penonton tak bisa melihat wajah asli Karen.
Demi memenuhi keinginan penonton itulah dia berinisiatif ingin menguasai seni tradisi
malangan lainnya yang tidak mengenakan topeng. Dan, pilihan Karen jatuh pada remo
atau menembang yang akhirnya menuju pada kemampuannya berkidung.
HARI demi hari ia lalui. Kemampuan Karen mengidungkan lagu-lagu Jawa membuat dia
kini lebih banyak menjadi pesinden mengiringi pergelaran wayang kulit.
"Saya pernah menjadi pesinden untuk dalang Anom Suroto, Manteb Sudarsono, Joko
Edan, Ki Purbo, Ki Naryo, dan sebagainya. Sampai sekarang saya lebih banyak
menjalankan profesi itu," kata Karen. Sudah tiga kali dia pentas di Jakarta; menyinden
dalam pementasan wayang kulit dengan dalang mantan Wali Kota Malang, Soesamto, di
Taman Mini Indonesia Indah; tampil bersama dalang Romo Yustinus yang kini berada di
Banyuwangi, Jawa Timur; dan diajak bermain ketoprak kelompok Siswo Budoyo dari
Tulungagung. Dalam berbagai festival tari di Yogyakarta dan Surakarta, Karen
senantiasa hadir membawakan tari wayang topeng yang khas Malang ini.
Udara sejuk daerah Tumpang senantiasa menyelimuti Padepokan Mangun Dharma yang
terletak sekitar 30 kilometer arah timur Kota Malang. Di Padepokan Mangun Dharma
itulah Karen yang menjalani hidup sangat sederhana itu akhirnya lebih sering
menggunakan nama Elizabeth Sekar Arum, pemberian seorang seniman Malang, dan
senantiasa berkiprah dalam berbagai pementasan seni tradisi malangan.
Hingga kini tak pernah ada sedikit pun niat Karen untuk tampil di arena internasional.
Alasan dia, karena seni tradisi malangan, terutama tarian wayang topeng, sampai
sekarang juga belum diminati masyarakatnya sendiri. (Nawa Tunggal)
52
LAMPIRAN D
Kompas- Padepokan Seni Mangun Dharma
Senin, 31 Maret 2003
Intrik Berdarah Tak Jemu-jemu
ADA temuan mutakhir berupa delapan lempeng tembaga Prasasti Sapi Kerep (berangka
tahun 1275 Masehi) di sebuah sawah milik seorang petani di Desa Sapi Kerep,
Kecamatan Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur (Jatim), pada Februari-Maret 2001.
PADA Mei tahun yang sama, dari lapak penjual barang loak di Kediri, Jatim, ditemukan
pula tiga lempeng kelanjutan Prasasti Mula Malurung (berangka tahun 1255 Masehi).
Sebelumnya pada tahun 1975 di daerah yang sama juga ditemukan 10 lempeng prasasti
serupa.
Kebanaran sejarah ternyata bersifat hipotetik. Sejarah dapat diperbarui atau direvisi,
selama kajian terhadap penemuan-penemuan arkelogis yang menunjang masih terjadi.
Ternyata kajian terhadap temuan Prasasti Mula Malurung dan Sapi Kerep ini terbukti
merevisi sejarah Kerajaan Singasari yang kini berkembang.
Revisi yang sangat menonjol, misalnya, dari kisah menyedihkan berupa intrik berdarah
untuk perebutan kekuasaan pemerintahan yang tak berkesudahan di Singasari.
Melalui kajian Prasasti Mula Malurung, ternyata ditemukan kisah baru yang mampu
mempertajam lagi intrik berdarah tersebut.
Melalui Prasasti Mula Malurung, disebutkan ada tokoh Turuk Bali, sebagai kerabat atau
saudara sepupu perempuan Raja Kertanegara (1268-1292 Masehi). Turuk Bali ini
kemudian menjadi istri Raja Jayakatwang yang memerintah wilayah kekuasaan Gelanggelang.
Wilayah Gelang-gelang ini berada di wilayah Kediri. Jayakatwang yang memimpinnya,
kemudian bisa diartikan sebagai ipar Kertanegara. Namun pada tahun 1292 Masehi,
Jayakatwang ini menyerang Kertanegara dan berhasil mengalahkannya.
Mengawini sepupu Kertanegara, Turuk Bali ini, ternyata bisa dikatakan sebagai strategi
Jayakatwang untuk merebut Singasari dari tangan Kertanegara. Jayakatwang
menyerang Kertanegara karena dia memiliki dendam turunan. Jayakatwang adalah
keturunan dari Kerajaan Kediri yang sebelumnya ditaklukkan Ken Arok, raja Singasari
yang pertama.
Adanya penyebutan tokoh baru Turuk Bali yang dikawini Jayakatwang ini pada Prasasti
Mula Malurung, kemudian merevisi khazanah pemahaman sejarah yang terjadi di
Singasari. Terutama sejarah tragis adanya perebutan kekuasaan berdarah di Singasari.
Intrik yang dipakai cenderung selalu melibatkan salah satu kerabat istana, yaitu setelah
Jayakatwang mengawini Turuk Bali dan menjadi bukan orang luar lagi bagi Kerajaan
Singasari.
Kisah baru yang menarik dari hasil kajian Prasasti Mula Malurung yang kini disimpan di
Museum Nasional Jakarta ini dituturkan Prof Dr Moehammad Habib Mustopo di Malang.
Habib menjadi Ketua Ikatan Ahli Epigrafi Indonesia (IAEI) Komisariat Daerah Jatim dan
guru besar sejarah di Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang (UM).
"Begitu hebatnya intrik perebutan kekuasaan berdarah di Singasari. Intrik selalu datang
dari dalam kerabat lingkungan istana sendiri dan kisah masa lalu ini bisa ditarik
manfaatnya untuk masa sekarang," kata Habib.
Intrik perebutan kekuasan berdarah di Singasari bisa dirinci, berawal dari Raja Singasari
pertama Ken Arok, yang dibunuh seorang pengalasan atau prajurit atas insiatif
Anusapati. Anusapati menjadi anak sah Ken Arok dengan Ken Dedes.
53
Namun, Anusapati merasa yakin sebagai anak biologis antara Ken Dedes dengan Akuwu
Tumapel Tunggul Ametung yang sebelumnya dibunuh Ken Arok. Sebab, ketika Ken Arok
mengawini Ken Dedes, Ken Dedes sebelumnya sudah mengandung anak Tunggul
Ametung.
Anusapati kemudian dibunuh Tohjaya, anak Ken Arok dengan Ken Umang. Tohjaya
kemudian berhasil dibunuh pula oleh Wisnuwardhana, anak dari Anusapati.
Wisnuwardhana ini kemudian memimpin Singasari mulai tahun 1227 hingga 1268
dengan aman. Singasari lalu dipimpin anak Wisnuwardhana bernama Kertanegara
(1268-1292).
Ternyata terulang kembali intrik perebutan kekuasaan berdarah oleh Jayakatwang yang
telah menjadi orang dalam istana Kertanegara.
Selama ini Jayakatwang dikenalkan sebagai tokoh di luar keluarga istana Singasari.
Prasasti Mula Malurung menyibak tabir yang berbeda, seperti diutarakan Habib,
Jayakatwang itu adalah ipar dari Raja Kertanegara yang supertangguh. Buktinya ia
mampu mengirim prajurit dalam Ekspedisi Pamalayu (1275) ke Melayu (Sumatera).
Tujuannya menggalang persekutuan raja-raja di Pulau Jawa dan Sumatera untuk
mengantisipasi serangan ekspansif Khubilai Khan dari Cina.
KEKUASAAN yang diperoleh dengan pertumpahan darah tidak akan mudah untuk
dipertahankan. Dendam untuk memperoleh kekuasaan kembali oleh pihak terkalahkan
tak mudah dipadamkan. Ini makna masa lalu yang dapat ditarik untuk masa sekarang.
"Belajar sejarah masa lalu, bukan tidak ada gunanya. Maknanya bisa ditarik untuk masa
sekarang," kata Habib.
Kemudian dari Prasasti Sapi Kerep yang kini berada di Museum Mpu Tantular Surabaya,
menurut Habib, ada revisi lagi tentang sejarah Singasari. Di dalam prasasti ini disebutkan
adanya pembangunan Sri Rameswarapura di masa Raja Kertanegara, yang dianggap
bangunan itu untuk penghormatan Wisnuwardhana. Ini merevisi sejarah yang selama ini
disebutkan, bangunan pendharmaan Wisnuwardhana hanya ada dua, yaitu Candi Jago
di Malang dan Candi Weleri di Blitar, Jatim.
Prasasti Sapi Kerep kembali merevisi adanya bangunan pendharmaan Wisnuwardhana
sudah bukan dua lagi, melainkan ada tiga. Sebab, sudah harus ditambahkan lagi
bangunan Sri Rameswarapura.
Habib mengatakan, besar kemungkinan Sri Rameswarapura masih berada di dekat
penemuan Prasasti Sapi Kerep di Sukapura yang masuk kawasan Gunung Bromo-
Tengger ini. Ada kesesuaian istilah pura yang melekat antara kata Sri Rameswarapura
dan Sukapura.
Dari Prasasti Sapi Kerep masih disebutkan lagi adanya pembagian tanah oleh Raja
Kertanegara kepada para pejabat tinggi yang pernah berjasa bagi Kerajaan Singasari.
Pembagian luas tanah itu disesuaikan dengan tingkat jabatan masing-masing.
Nama-nama pejabat pada waktu itu unik pula, yaitu dengan menggunakan istilah-istilah
untuk sebutan hewan, seperti kerbau, lembu, gajah, atau harimau. Prasasti Sapi Kerep
menyebutkan pula, masyarakat di sekitar Sri Rameswarapura diwajibkan untuk
memelihara bangunan tersebut.
"Ada bagian yang justru sangat penting dari Prasasti Sapi Kerep yang saat ini belum
ditemukan yaitu bagian sambandha, bagian yang menunjukkan alasan untuk apa
prasasti itu dikeluarkan Raja Kertanegara dan untuk apa didirikannya Sri
Rameswarapura," kata Habib.
Lanjut Habib, dari delapan lempeng Prasasti Sapi Kerep yang sudah ditemukan beserta
kotaknya yang masih utuh itu seharusnya memiliki kelengkapan jumlah mencapai 16
lempeng. Ada delapan lempeng lagi yang kini belum diketemukan.
Istilah menarik lainnya, dari istilah Sukapura yang bisa diartikan sebagai tempat untuk
bersuka. Di kawasan tersebut pernah pula diketemukan situs yang berkaitan dengan
Patih Gajah Mada yang sangat terkenal itu pada masa Kerajaan Majapahit. Gajah Mada
54
pernah dianugerahi sebidang tanah di Sukapura pada usia purna tugas oleh Hayam
Wuruk.
"Paling tidak di kawasan Sukapura yang sekarang (masuk kawasan Bromo-Tengger)
menjadi tempat yang sangat penting pada masa Singasari dan Majapahit. Ada Sukapura,
Sri Rameswarapura, dan Madakaripura," kata Habib.
Pembacaan sementara prasasti Sapi Kerep di lokasi penemuan, dilakukan Habib
bersama Dr Machi Suhadi, seorang epigraf dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
Jakarta.
Menurut Habib, kisah sejarah Kerajaan Singasari yang ada di wilyah Malang, selama ini
masih didasarkan pada Kitab Negarakertagama yang ditulis pada tahun 1365 Masehi
dan Kitab Pararaton yang ditulis pada akhir Abad XIX.
Prasasti Mula Malurung telah merevisi (melengkapi) intrik berdarah perebutan kekuasaan
Singasari. Selain itu menyebutkan pula beberapa nama tokoh baru di lingkup keluarga
istana Singasari.
Prasasti Sapi Kerep menyebutkan kawasan penting di Sukapura. "Adanya kajian dari
temuan primer berupa prasasti ini akan mengalahkan cerita sejarah Singasari dari
Negarakertagama dan Pararaton. Apalagi di dalam Kitab Negarakertagama yang dibuat
pada masa Raja Majapahit Hayam Wuruk itu tidak disebutkan adanya Raja Tohjaya
sebagai Raja Singasari," kata Habib.
Di dalam Prasasti Mula Malurung tokoh Raja Tohjaya itu disebutkan. Ini berarti Prasasti
Mula Malurung berhasil merehabilitasi nama Tohjaya sebagai salah satu raja Singasari
yang juga berasal dari kalangan keluarga istana pula.
Tokoh-tokoh baru yang disebut di dalam Prasasti Mula Malurung, menurut Habib, yaitu
Nararya Waninghyun dan Nararya Guningbhaya. Dua tokoh ini sebagai anak Ken Arok
pula, selain Anusapati, Tohjaya, dan Mahisa Wong Ateleng. (NAW)
55
LAMPIRAN E
Kompas- Pencurian Benda-Benda Bersejarah
Kamis, 07 April 2005
Pencurian Benda-benda Cagar Budaya Masih Terus Terjadi
Jakarta, Kompas - Pencurian benda cagar budaya terus terjadi, terutama di situs-situs
cagar budaya terbuka seperti di kawasan candi. Terdapat ratusan benda cagar budaya
yang telah dicuri. Lebih mengenaskan lagi, hanya segelintir dari kasus itu yang terungkap
atau pelakunya diadili. Terakhir, pada akhir 2004, kembali dilaporkan terjadi pencurian
arca Bhairawa di situs Candi Jago, Malang.
Hilangnya kasus benda cagar budaya tersebut setidaknya tergambar dari data di enam
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, yakni di Batu Sangkar, Jambi, Trowulan, DI
Yogyakarta, Prambanan, dan Makassar. Data itu dikumpulkan oleh Kantor Asisten Deputi
Kepurbakalaan dan Permuseuman, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
Dalam rentang waktu 12 tahun, 1990-2002, setidaknya terjadi 130 kasus pencurian
benda cagar budaya. Akibatnya, sekitar 370 benda cagar budaya dilaporkan hilang. Dari
keseluruhan kasus tersebut, yang terungkap hanya sekitar 20 kasus. Padahal, di tahun
2003 kembali dilaporkan terjadi tujuh kasus pencurian benda-benda cagar budaya.
Pencurian terutama marak terjadi tahun 1999 ketika krisis dan tekanan ekonomi
sedemikian hebatnya. Kondisi keamanan situs memang memprihatinkan karena tidak
semua situs dipagari atau mendapatkan pengamanan ketat.
Selain pencurian, kasus yang memprihatinkan ialah perusakan benda cagar budaya
seperti yang terjadi di Borobudur. Dalam kurun 1990-2002 saja, Balai Studi dan
Konservasi Borobudur mencatat terjadi 72 kasus vandalisme atau perusakan cagar
budaya, yang umumnya berupa aksi mencoret-coret. Belum lagi aksi penggalian liar dan
perombakan bangunan cagar budaya.
Kasus-kasus tersebut setidaknya menggambarkan rendahnya perlindungan terhadap
aset bangsa tersebut. Asisten Deputi Urusan Kepurbakalaan dan Permuseuman Soeroso
MP mengungkapkan, memang tidak mudah melindungi benda dan situs cagar budaya
yang jumlahnya sangat banyak. Akhirnya, kembali perlindungan terbesar datang dari
masyarakat.
Dijual ke luar negeri
Secara terpisah, Rini S selaku Kepala Subbidang Pengamanan dan Penyelamatan di
Deputi Sejarah dan Purbakala mengakui, sangat terbuka kemungkinan benda-benda
cagar budaya dari Indonesia itu "lari" ke luar negeri.
Sepanjang tahun 2004 saja tercatat 24 benda cagar budaya yang akan diterbangkan ke
luar negeri, namun berhasil ditahan Bea dan Cukai Kantor Pelayanan Tipe A Bandara
Internasional Soekarno-Hatta. Benda-benda itu ditemukan bersama 156 benda budaya
lainnya. Selain itu, kata Rini, dari September 2004 sampai Februari 2005 terjadi lagi
setidaknya 19 kasus.
Selain Bandara Soekarno-Hatta, pintu rawan lainnya ialah melalui Bandara Ngurah Rai di
Denpasar, Bali, dan Balikpapan, Kalimantan Timur. "Terkadang benda-benda itu
disamarkan sebagai suvenir. Bahkan, mulai muncul tren pengiriman benda cagar budaya
melalui paket," katanya.
Dia mengakui memang sulit mendeteksi arus lalu lintas benda cagar budaya.
Pengawasan sangat terbatas karena tidak semua petugas di bandara mempunyai
kemampuan membedakan benda cagar budaya dengan yang tidak.
Sejauh ini, yang dilakukan ialah menjalin kerja sama dengan petugas-terutama dengan
pihak Bandara Soekarno-Hatta-agar jika ada benda yang dicurigai, termasuk cagar
budaya, segera dilaporkan untuk diperiksa oleh ahlinya. "Namun, untuk di daerah
terdapat kendala lagi, yakni minimnya ketersediaan tenaga ahli," ujarnya. (INE)
56
LAMPIRAN F
Kompas- Pencurian Benda-benda Bersejarah
Senin, 09 Februari 2004
"Nagarakretagama" Karya Jurnalistik Pertama Indonesia
Oleh Djulianto Susantio
SALAH satu naskah kuno yang paling banyak ditelaah para pakar adalah kakawin
Nagarakretagama. Kitab ini merupakan karya Mpu Prapanca dari Kerajaan Majapahit
sekitar abad ke-14.
Kakawin Nagarakretagama menguraikan Kerajaan Majapahit dengan segala isinya
secara panjang lebar. Sejauh ini Nagarakretagama merupakan sumber sejarah
terlengkap yang memberi sejumlah keterangan langsung mengenai masyarakat Jawa
kuno saat itu.
INFORMASI seperti ini tidak pernah dijumpai pada naskah- naskah kuno lain.
Keterangan langsung yang diberikan Prapanca, menurut kaidah jurnalistik, dapat
disamakan dengan apa yang pada masa kini disebut berita.
Nagarakretagama bukan sekadar karya biasa. Keluarbiasaan Nagarakretagama terletak
pada isi yang berupa laporan nyata tentang keadaan Majapahit saat itu. Banyak pakar
sependapat bahwa Nagarakretagama merupakan karya jurnalistik pertama di Indonesia.
Pendapat ini disimpulkan mengingat ciri utama karya jurnalistik telah terpenuhi dalam
Nagarakretagama, yakni adanya peristiwa atau fakta yang dikomunikasikan dan mampu
menarik perhatian orang karena keaktualannya. Dalam mencari data Prapanca
menggunakan metode pengamatan dan wawancara dengan seorang tokoh pendeta.
SELAMA ini sumber tertulis yang dianggap paling dipercaya adalah prasasti. Menyusul
naskah dan sumber-sumber lain, seperti berita asing. Nagarakretagama sudah teruji
kebenarannya melalui perbandingan dengan sumber-sumber lain, baik tertulis maupun
tidak tertulis. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Nagarakretagama sejajar dengan karya
jurnalistik dan Prapanca dapat disetarakan dengan wartawan.
Nagarakretagama tersusun dari puluhan pupuh (syair). Beberapa di antaranya
mempunyai kesesuaian dengan beberapa sumber, seperti prasasti dan naskah lain yang
sezaman. Pupuh 2, mengisahkan nenek dan ibu raja Hayam Wuruk. Dikatakan, nenek
raja adalah Rajapatni yang merupakan gelar dari Gayatri. Gayatri adalah anak bungsu
Kertanegara yang diperistri Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana).
Keterangan serupa ternyata ada pada prasasti Sukamerta (1296 Masehi) dan Balawi
(1305 Masehi). Kedua prasasti menyebutkan, Kertarajasa adalah menantu Kertanegara
karena dia memperistri empat anak Kertanegara. Salah satunya bernama Dewi Gayatri.
Yang amat mendukung, kisah Gayatri dapat pula diintisarikan dari kidung Harsawijaya
(berisi sejarah awal Majapahit) dan Pararaton (berisi sejarah kerajaan Singasari dan
Majapahit).
Selanjutnya pupuh 8 Nagarakretagama menggambarkan ibu kota Majapahit sebagai
berikut, "Tersebut keajaiban kota: tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura...."
(Slametmulyana, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, 1979). Hal ini mirip
penjelasan Berita Cina yang ditulis Ma-huan saat mengunjungi Majapahit. Ma-huan
melaporkan adanya sebuah tempat bernama Majapahit, tempat tinggal raja yang
dikelilingi tembok bata setinggi lebih dari 30 kaki dan luasnya sekitar 3-4 li.
Pernyataan itu setidaknya mengandung keotentikan, sebagaimana diperlihatkan
sejumlah bukti arkeologis di Trowulan. Sisa-sisa bangunan yang ada seluruhnya
menggunakan bahan bata merah dan umumnya ditemukan berbentuk bangunan
bertembok tebal dan tinggi.
57
PERAN Nagarakretagama sebagai sumber sejarah kuno Indonesia relatif besar meski
ada yang berpendapat Nagarakretagama dipengaruhi unsur subyektif dalam rangka
menyenangkan penguasa saat itu. Nagarakretagama memiliki nama lain, yakni
Desawarnana atau Uraian tentang Desa-desa, seperti tercantum dalam pupuh 94. Ini
karena Raja Hayam Wuruk sering turun ke bawah untuk menghormati nenek moyangnya
dan masyarakatnya.
Bagi arkeolog dan peneliti sejarah, fungsi Nagarakretagama amat luar biasa mengingat
Nagarakretagama menuliskan daftar candi makam keluarga raja dilengkapi pemberitaan
tentang tempat dan siapa yang dicandikan di situ. Nagarakretagama juga memberikan
tempat-tempat yang disinggahi Hayam Wuruk saat itu, misalnya Jajaghu (Candi Jago),
Jajawa (Candi Jawi), dan Madakaripura (tempat peristirahatan Gajah Mada di
Probolinggo).
Nagarakretagama merupakan sebuah "karya jurnalistik" terbaik, sementara Mpu
Prapanca dikatakan "wartawan" tersohor dari Kerajaan Majapahit. Namun, banyak hal
yang masih terabaikan hingga kini, misalnya penelitian terhadap candi-candi dan desadesa
yang disebutkan dalam kitab itu.
Dari segi toponimi (asal-usul tentang sebuah nama), sebenarnya banyak candi dan desa
kuno masih dapat diidentifikasikan meski beberapa desa telah hilang dan sebagian lagi
bergabung menjadi satu. Seyogianya penelitian tentang lokasi candi dan desa kuno itu
dilakukan sesegera mungkin mengingat Nagarakretagama adalah sebuah karya besar
dari sebuah kerajaan agung yang pernah ada di Nusantara. Tentu hasil yang
diinformasikan dan ditinggalkan memiliki "nilai jurnalistik" yang amat tinggi.
Mpu Prapanca sendiri dipandang sebagai pelopor arkeologi Indonesia dan pendahulu
historic archaeology (arkeologi sejarah). Ini karena Prapanca membuat semacam
inventarisasi dan deskripsi mengenai berbagai jenis peninggalan purbakala yang ada
pada zamannya. Prapanca telah melakukan field survey (survei lapangan), suatu hal
yang menguntungkan dunia ilmu pengetahuan.
Djulianto Susantio Anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia
58
LAMPIRAN G
Kompas- Arsitektur
Minggu, 15 Juni 2003
Kesinambungan Arsitektur Jawa-Hindu dan Islam
Oleh: Bambang Setia Budi
SEBAGAI salah satu tempat awal penyebaran Islam di Pulau Jawa, Kota Kudus banyak
menyimpan peninggalan sejarah Islam. Salah satu yang terpenting adalah Masjid
Menara Kudus yang terletak di Desa Kauman, Kecamatan Kota, Kabupaten Kudus,
Provinsi Jawa Tengah. Masjid tersebut telah menjadi salah satu tempat bersejarah yang
penting bagi umat Islam di Jawa.
MASJID yang menurut sejarah didirikan pada tahun 956 Hijriah atau 1549 Masehi ini
memiliki nama asli Masjid Al-Aqsa. Konon, Ja’far Sodiq atau yang kemudian dikenal
sebagai Sunan Kudus pernah membawa kenangan berupa sebuah batu dari Baitul
Maqdis di Palestina untuk batu pertama pendirian masjid yang diberi nama masjid Al-
Aqsa. Masjid tersebut kemudian lebih populer dengan sebutan masjid Menara Kudus,
merujuk pada menara candi di sisi timur bangunan utama.
Yang paling monumental dari bangunan masjid ini adalah menara berbentuk candi
bercorak Hindu Majapahit, bukan pada ukurannya yang besar saja, tetapi juga keunikan
bentuknya yang tak mudah terlupakan. Bentuk ini tidak akan kita temui kemiripannya
dengan berbagai menara masjid di seluruh dunia.
Keberadaannya yang tanpa-padanan karena bentuk arsitekturalnya yang sangat khas
untuk sebuah menara masjid itulah yang menjadikannya begitu mempesona. Dengan
demikian bisa disebut menara masjid ini mendekati kualitas genius locy.
Bangunan menara berketinggian 18 meter dan berukuran sekitar 100 m persegi pada
bagian dasar ini secara kuat memperlihatkan sistem, bentuk, dan elemen bangunan
Jawa-Hindu. Hal ini bisa dilihat dari kaki dan badan menara yang dibangun dan diukir
dengan tradisi Jawa-Hindu, termasuk motifnya. Ciri lainnya bisa dilihat pada penggunaan
material batu bata yang dipasang tanpa perekat semen, namun konon dengan dengan
digosok-gosok hingga lengket serta secara khusus adanya selasar yang biasa disebut
pradaksinapatta pada kaki menara yang sering ditemukan pada bangunan candi.
Teknik konstruksi tradisional Jawa juga dapat dilihat pada bagian kepala menara yang
berbentuk suatu bangunan berkonstruksi kayu jati dengan empat soko guru yang
menopang dua tumpuk atap tajuk. Sedangkan di bagian puncak atap tajuk terdapat
semacam mustoko (kepala) seperti pada puncak atap tumpang bangunan utama masjidmasjid
tradisional di Jawa yang jelas merujuk pada elemen arsitektur Jawa-Hindu.
GH Pijper dalam The Minaret in Java (India Antiqua, Leiden, 1947) mengaitkan struktur
bangunan Hindu Jawa pada menara tersebut, sebagaimana pernah diungkap sarjana
JFG Brumund pada tahun 1868. Dikemukakan pula bahwa menara itu mengingatkan
pada menara kul-kul di Bali. Adanya kesamaan dengan menara kul-kul Bali ini kembali
ditegaskan AJ Bernet Kempers dalam bukunya Ancient Indonesia Art (1953).
Hampir semua pakar dan peneliti dari dalam negeri juga sepakat menara ini jelas
bercorak bangunan candi atau menara kul-kul Bali. Ada yang menghubungkan bentuk
menara itu dengan Candi Jago, terutama jika dilihat dari arsitektur dan kesamaan ragam
hias tumpalnya seperti yang dilakukan Sutjipto Wijosuparto (1961). Ada pula yang
menyamakannya dengan candi di Jawa Timur oleh Soekmono (1973), Candi Singosari
oleh Syafwandi (1985), atau kul-kul Bali oleh Parmono Atmadi (1987).
Namun, Pijper mengungkapkan menara Masjid Kudus awalnya bukanlah asli milik
masjid, melainkan bentuk bangunan candi dari zaman Jawa-Hindu yang digunakan dan
disesuaikan kegunaannya sebagai tempat azan.
Lain halnya dengan ahli purbakala NJ Krom yang menyebutkan menara Masjid Kudus
bukanlah bangunan Candi Jawa-Hindu. Menurut dia, bangunan itu memang memiliki
59
corak candi, tetapi ia dibangun pada masa Islam dan sengaja diperuntukkan sebagai
menara azan. Mungkin saja menara dibangun para tukang dan ahli bangunan Hindu
sehingga bentuk bangunannya dipengaruhi secara kuat corak arsitektur Hindu
Pendapat Krom ini boleh jadi ada benarnya jika diamati detail ornamen bangunan
menara yang hampir tidak ditemukan ragam hias berupa makhluk hidup. Artinya boleh
jadi bangunan itu sudah disesuaikan dengan agama Islam yang cenderung menghindari
adanya penggambaran makhluk hidup. Jika menara itu dibangun jauh sebelum masa
Islam/sebelum masjid dibangun, tentu lebih logis jika ragam hias makhluk hidup bisa
dengan mudah ditemukan seperti pada gapura Masjid Sendang Duwur di Jawa Timur.
Usia menara juga merupakan keunikan tersendiri, seperti diungkapkan Pijper bahwa
Menara Kudus merupakan menara masjid tertua di Jawa. Meskipun demikian, hingga
saat ini belum ada yang dapat memberi keterangan kapan waktu dibangunnya secara
jelas.
Jika didasarkan inskripsi berbentuk Candrasengkala dalam tulisan Jawa di sebuah balok
bagian atap menara yang berbunyi "Gapura rusak ewahing jagad", arkeolog Soetjipto
Wirjosuparto membacanya sebagai tahun Jawa 1 (jagad), 6 (ewah), 0 (rusak), 9
(gapura), maka berbunyi 1609 tahun Jawa atau 1685 Masehi.
Wirjosuparto memperkirakan, menara masjid dibangun sebelum tahun 1685 karena
keterangan ini menunjukkan rusaknya atap menara yang kemudian diperbaiki dan
diperingati dengan inskripsi tersebut. Sementara AJ Bernet Kempers memperkirakan
bangunan menara dibangun sekitar awal abad ke-16 tetapi diletakkan dalam tanda
kurung yang dibubuhi tanda tanya. Karena tahun itu hanya merupakan perkiraan yang
didasarkan atas petunjuk sejarah politik.
SELAIN menara, masih banyak elemen unik lainnya yang bisa ditemukan pada kompleks
masjid dan makam ini. Jika ditelusuri, terdapat banyak elemen bangunan yang berulang
di berbagai tempat. Itulah gerbang yang bentuknya juga menunjukkan kaitan sangat kuat
dengan seni bangunan zaman pra-Islam. Gerbang-gerbang itu menandai dan memberi
batas makna ruang profan dan sakral. Komposisi tata letaknya sungguh memberikan
urutan sangat menarik.
Ada dua jenis gapura di kompleks ini, yakni Kori Agung dan Bentar yang keduanya mirip
seperti gapura di Bali. Gapura jenis Kori Agung membentuk suatu gunungan pada bagian
atasnya, sementara bentar membentuk laiknya gunungan terbelah. Kedua jenis seperti
ini juga terdapat di kompleks Masjid Mantingan atau Masjid Ratu Kalinyamat di pesisir
utara Jawa Tengah.
Yang luar biasa dari gerbang ini adalah adanya sepasang gerbang purba berbentuk Kori
Agung yang justru terdapat di dalam ruang shalat masjid. Konon, itulah sisa gerbang
Masjid Kudus yang asli yang disebut "Lawang Kembar".
Keunikan lain adalah beduk dan kentongan pada pendopo di bagian kepala menara.
Peletakan benda-benda seperti itu merupakan tata letak yang tidak lazim di masjidmasjid
Jawa tradisional. Karena alat-alat yang biasa ditabuh sebelum dikumandangkan
azan itu hampir selalu diletakkan di pendopo masjid sebelah timur. Wajar jika hal ini
memperkuat kaitan dengan menara kul-kul Bali karena pada menara kul-kul Bali
biasanya tergantung kentongan di bagian kepala menara tepat di bawah atap.
Satu lagi yang tak kalah menarik adalah tempat wudu kuno dari susunan bata merah,
dengan lubang pancuran berbentuk kepala arca berjumlah delapan buah. Jumlah ini
konon dikaitkan dengan falsafah Buddha, yaitu Asta Sanghika Marga (delapan jalan
utama) yang terdiri dari pengetahuan, keputusan, perbuatan, cara hidup, daya, usaha,
meditasi, dan komplementasi yang benar.
Sedangkan bentuk arca seringkali dikaitkan dengan kepala sapi bernama Kerbau
Gumarang karena binatang sapi dulunya diagungkan orang Hindu di Kudus. Bahkan
hingga sekarang meski mereka telah menjadi Muslim, masih memiliki tradisi menolak
penyembelihan sapi yang konon warisan dari sunan kharismatik pencipta gending Mijil
dan Maskumambang itu.
uraian menarik
ReplyDelete