Sebagai pembuka
wacana, dalam bab ini kita
akan membahas perkembangan
teorisasi dan penelitian sosial mengenai
demokrasi, terutama sejak
1970-an. Tema utamanya adalah perubahan.
Seperti halnya masyarakat yang jadi sasaran studinya, ilmu sosial selalu berubah. Demi
menghasilkan teori sosial yang
relevan dengan praktek hidup
sehari-hari masyarakat, agenda studi dan penelitian ilmuwan sosial disusun berdasar perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
Kedekatan teori
dengan praktek sosial juga nampak
dalam kegiatan teorisasi
demokrasi. Karya para ilmuwan yang
menangani soal demokrasi, yang
pada masa akhir 1960-an dan 1970-an
sering dikritik sebagai terlalu
utopis dan normatif sehingga dianggap tidak ilmiah, juga sangat relevan
dengan persoalan nyata masyarakat yang dipelajarinya. Bahkan mereka ternyata
lebih dari sekedar mencerminkan apa yang terjadi dalam masyarakat. Melalui tulisan-tulisan yang
diterbitkan, mereka sejak
lama merupakan sumber inspirasi dan referensi bagi upaya demokratisasi di luar
Eropa Barat dan Amerika Utara. Para ilmuwan itu bukan hanya mencerminkan perubahan sosial, mereka pada
dasarnya telah mendorong terjadinya perubahan itu. Karena itu upaya teorisasi
politik mengenai demokrasi perlu dilihat
dalam konteks kemasyarakatan yang melingkupinya.
Untuk mendorong diskusi mengenai peranan ilmu
sosial dalam proses demokratisasi, tulisan
ini mengajukan dua
pertanyaan sederhana. Pertama, bagaimana karakteristik perubahan
yang telah terjadi dalam upaya teorisasi
sosial mengenai demokrasi? Apa yang membedakan teorisasi demokrasi sejak
1970-an dengan sebelumnya? Kedua, pengetahuan baru apa yang
dihasilkan oleh teorisasi demokrasi dewasa
ini? Proposisi-proposisi baru apa yang
muncul dari analisis mengenai
pengalaman demokratisasi sejak 1970-an?
Uraian berikut diarahkan untuk menjawab dua pertanyaan tersebut.
DINAMIKA
TEORISASI DEMOKRASI.
Perubahan yang terjadi dalam kegiatan teorisasi
demokrasi disini dikaitkan dengan
perubahan dalam studi politik mengenai Dunia Ketiga. Dinamika kegiatan akademik ini bisa
dilihat dalam dua cara. Pertama,
dalam dimensi dikotomik negara-masyarakat, yang terjadi adalah
perubahan tekanan pencarian variabel independen, yaitu mula-mula pada sisi masyarakat,
kemudian berubah ke negara dan akhir-akhir ini kembali lagi ke
penekanan pada variabel masyarakat. Kedua,
teorisasi politik mengenai demokrasi sejak 1970-an berbeda dengan sebelumnya terutama
karena sebagian besar perdebatan dewasa
ini sebetulnya mengenai proses redemokratisasi.
Yaitu, transisi menuju demokrasi dalam sistem politik yang sebelumnya pernah demokratis tetapi saat itu
sedang dikungkung otoriterisme. Upaya memahami fenomena ini memerlukan
kerangka konseptual yang berbeda dengan yang dihasilkan oleh para
pemikir yang memakai pengalaman Eropa
Barat sebagai sasaran analisis.
Marilah kita mulai dengan yang pertama. Ketika
Huntington menerbitkan risalah pendek yang sangat terkenal pada pertengahan 1960-an (Huntington, 1965;1968),
ia dengan tegas menyatakan bahwa optimisme yang mewarnai agenda penelitian dan
teorisasi mengenai demokrasi, seperti
yang dilakukan oleh teoritisi modernisasionis,
tidak berdasar. Hipotesis yang
mengkaitkan modernisasi sosial-ekonomi dengan
demokratisasi politik sering
dianggap gagal menghadapi uji
verifikasi. Masa 1960-an justru menunjukkan hubungan yang
sebaliknya, yaitu kemajuan
sosial-ekonomi malahan
berkorelasi positip dengan perkembangan
otoriterisme. Munculnya
otoriterisme di Argentina, Brazil,
Chile, Filipina, Korea Selatan, Nigeria,
Pakistan, Thailand, Uruguay,
Yunani, dsb. pada dasawarsa 1960-an
dan awal 1970-an membuktikan
itu. Karenanya tidak mengherankan kalau kegiatan penelitian dan
teorisasi para ilmuwan sosial waktu itu menghasilkan karya
tulis yang seolah-olah merupakan "obituary"
mengenai demokrasi. Yang terkenal pada
masa 1960-an dan 1970-an, selain karya Huntington
yang sudah disebut diatas,
antara lain adalah tulisan O'Donnell
(1973), Stepan (1973), Schmitter (1974), Linz dan Stepan (1978),
dan Collier (1978). Karya-karya ini jelas
menunjukkan pergeseran fokus
perhatian dari persoalan demokrasi ke otoriterisme. Bersamaan dengan
itu berkembang pula studi
mengenai militer dalam kehidupan politik di Dunia Ketiga.
Kegiatan teorisasi dan penelitian ilmuwan politik
masa itu juga menunjukkan pergeseran
fokus analisis dari sisi "masyarakat" ke sisi "negara". Ilmuwan politik
tahun 1950-an, terutama yang mempelajari negara-negara
baru merdeka, dengan
antusias dan optimistik berharap
melihat masyarakat baru itu
sebagai arena pembuktian keampuhan "the idea of progress"
yang telah merubah Eropa Barat dan Amerika Utara dua
abad sebelumnya. Kemajuan yang
diyakini akan mendorong munculnya
demokrasi liberal. Syaratnya adalah pengembangan kekuatan
masyarakat, terutama melalui pembentukan
sistem kepartaian yang mendukung sistem
parlementer yang bertanggung jawab kepada rakyat. Jadi, tekanan analisis
adalah masyarakat. Di sisi itulah
diduga terletak variabel independen bagi pengembangan demokrasi.
Namun, seperti dicatat oleh
Huntington, harapan itu kandas. Di
berbagai "wilayah sedang berkembang" itu, masyarakat kehilangan kekuatannya. Lembaga-lembaga
pendukungnya tidak mampu memaksa pemerintahnya
untuk tunduk padanya. Karena itu perhatian
para analis kemudian pindah ke sisi negara. Lembaga ini dalam kerangka
berpikir teori demokrasi yang berkembang
masa 1950-an dianggap tergantung pada kekuatan masyarakat;
sekedar wasit bagi permainan politik yang dinamikanya datang dari berbagai
kelompok kepentingan masyarakat.
Seperti dinyatakan oleh
berbagai pengkritik teorisasi
modernisasi, pengamatan itu tidak benar. Negara ternyata punya
otonomi sangat besar. Ia tidak hanya
menjadi panitia kecil penyelenggara kepentingan masyarakat (kelas
atau kelompok kepentingan lain). Ia justru seringkali begitu otonom dan aktif sehingga menjadi manajer segala macam
kegiatan, ekonomi, sosial,
kebudayaan, dsb., disamping fungsi utama
dalam bidang keamanan dan politik.
Demikianlah, analis politik kemudian
beralih ke sisi negara dan memandangnya
sebagai variabel eksplanator bagi
banyak hal yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat.
Akibatnya, konsep
"political system", yang diciptakan oleh ilmuwan politik seperti David
Easton sebagai konsep yang bisa
menghindarkan analisis
politik dari kekakuan institusional
yang legal-formal, secara pelahan digeser oleh konsep lama dalam kemasan
baru, yaitu negara.
Pergeseran itu direkam dan
digalakkan oleh Skocpol
dan teman-temannya (Skocpol, 1985).
Menjelang akhir 1970-an, warna pesimistis dan
konservatif dalam agenda
penelitian ilmuwan politik, yang seringkali
menyesakkan, mulai mengabur pada pertengahan 1970-an sesudah Portugal,
Spanyol, dan Yunani
berhasil meruntuhkan otoriterisme
dan menegakkan kembali demokrasi. Warna optimisme itu
semakin cerah ketika Peru, Bolivia, Argentina, Brazil, Pakistan,
Bangla Desh, Filipina dan beberapa lagi mengikuti jejak mereka pada
awal dan pertengahan 1980-an.
Fenomena itu semakin spektakuler
ketika sejak akhir 1980-an negara-negara Eropa Timur dan
Uni Soviet ikut-ikutan dalam arus
yang menghempaskan otoriterisme.
Optimisme itu nampak jelas dalam agenda penelitian
akhir-akhir ini dan
judul-judul karya tulis yang melaporkan
hasil penelitian itu. Suatu
proyek penelitian komparatif
mengenai pengalaman demokratisasi di Amerika Latin dan Eropa
Selatan yang dipimpin oleh O'Donnell dan
Schmitter pertengahan 1980-an menghasilkan
laporan yang diterbitkan dalam empat jilid
(O'Donnell, 1986). Proyek yang
tidak kalah besarnya, dengan meliputi
26 negara, dipimpin oleh Diamond, Linz dan Lipset menghasilkan lima jilid
laporan (Diamond, et.al.,
1990). Stepan mengorganisir beberapa ilmuwan untuk merevisi konseptualisasi mereka mengenai Brazil (Stepan, 1989). Sartori
menyambut kegairahan baru mengenai demokrasi juga dengan merevisi
bukunya yang membahas demokrasi
secara teoritis-ontologisnya (Sartori, 1987). Dan yang
paling optimistik, paling tidak
judulnya, adalah karya di Palma, yaitu To
Craft Democracy (di Palma,
1990). Semuanya dengan semangat yang
sama, yaitu bahwa jalan demokratis adalah
pilihan yang realistik dan
mungkin bagi masyarakat dunia dewasa ini.
Kebangkitan kembali tema teorisasi
dan penelitian demokrasi ini juga
mendorong pergeseran fokus analisis
kembali ke sisi masyarakat. Walaupun kali ini konseptualisasi
mengenai pelembagaan yang dianggap
mewakili masyarakat tidak terbatas hanya
pada partai politik, tetapi juga melibatkan aktor lain seperti lembaga
swadaya masyarakat (LSM). Banyak hasil penelitian
menunjukkan bukti bahwa aktor masyarakat ini mampu
memobilisasi dukungan tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga
dari berbagai aktor internasional. Sejalan dengan itu,
agenda penelitian dan teorisasi demokrasi dewasa ini cenderung mengarah pada
pencarian variabel masyarakat.
Demikianlah, kegiatan teorisasi itu
bergeser dari fokus yang berorientasi-masyarakat ke
berorientasi-negara dan kemudian bergeser lagi ke
berorientasi-masyarakat. Lalu, bagaimana
dengan cara kedua untuk memahami perkembangan teorisasi
dewasa ini? Yaitu, apa yang membedakan teorisasi politik
mengenai demokrasi sejak 1970-an dengan yang
berkembang sebelumnya?
Ada
tiga hal yang menandai perbedaan
teorisasi masakini dengan masa sebelum 1970-an. Pertama, teorisasi demokrasi
yang berkembang tahun 1950-an dan 1960-an umumnya
didasarkan pada pengalaman empirik
Eropa Barat dan Amerika Utara.
Karya besar yang sering dikutip
dalam perdebatan mengenai demokrasi,
seperti tulisan Lipset yang dirujuk di depan dan karya Moore (1966), sebagian besar didasarkan pada
pengalaman Eropa Barat dan Amerika Utara.
Konseptualisasi yang muncul dari pengalaman ini ternyata tidak banyak membantu pemahaman
mengenai demokratisasi menjelang
berakhirnya abad 20 ini.
Perdebatan yang
paling menarik sekarang
adalah mengenai transisi dari
otoriterisme ke demokrasi dalam
masyarakat yang sebelumnya pernah
menerapkan demokrasi. Karya-karya
Diamond et.al., O'Donnel dan Schmitter, di Palma dsb. yang dirujuk
di depan adalah ulasan mengenai transisi seperti ini.
Kedua, yang juga membedakan teorisasi
demokratisasi dewasa ini dengan
sebelumnya adalah penekanan yang
lebih besar pada variabel politik dan berkurangnya
perhatian pada kondisi-kondisi sosial yang
mendukung proses demokratisasi. Karya
teoritisi modernisasi 1950-an dan 1960-an mengasumsikan suatu model demokrasi
yang didasarkan pada pengalaman negara-negara Barat. Model tersebut memiliki tiga ciri, yaitu: [1] ekonomi yang
makmur dan merata; [2] struktur sosial yang modern,
mengenal diversifikasi dan didominasi
oleh kelas menengah yang independen;
dan [3] budaya politik nasional yang secara implisit sudah
demokratis, yaitu toleran terhadap perbedaan dan cenderung akomodatif.
Dengan kata lain, teorisasi
demokrasi sebelum 1970-an lebih
menekankan pengertian yang
"substantivist". Menurut pengertian ini, demokrasi
tidak akan efektif dan lestari
tanpa substansi berujud jiwa,
kultur atau ideologi demokratis
yang mewarnai pengorganisasian internal
partai politik, lembaga-lembaga
pemerintahan maupun perkumpulan-perkumpulan kemasyarakatan.
Kelestarian demokrasi memerlukan rakyat yang bersepakat mengenai
makna demokrasi, yang paham akan
bekerjanya demokrasi dan kegunaannya
bagi kehidupan mereka. Demokrasi yang kuat bersumber pada "kehendak rakyat" dan bertujuan mencapai "kebaikan atau kemaslahatan bersama". Karena itu,
demokrasi mesti berkaitan dengan
persoalan perwakilan kehendak rakyat itu.
Dalam teorisasi masakini, variabel-variabel ideologis
dan kultural itu tidak terlalu ditekankan. Perhatian lebih
banyak dicurahkan pada variabel
pilihan politik yang diambil oleh elit
atau pemimpin-pemimpin utama. Salah satu
yang ditekankan adalah pembuatan pakta
politik antar aktor dalam sistem
politik itu. Masyarakat yang
nampak tidak memiliki
kondisi-kondisi sosial,
ekonomi dan kultural seperti disebut
diatas ternyata juga mampu bukan hanya
menegakkan demokrasi tetapi
sekaligus mempertahankannya sehingga tidak runtuh kembali menjadi
otoriter. Dan itu terjadi karena ada sekelompok elit yang
mengambil pilihan politik yang jitu bagi demokratisasi.
Ketiga, dalam
model demokrasi Barat itu
juga digambarkan bahwa proses
demokratisasi berlangsung secara gradual dan
akomodatif. Padahal, pengalaman masyarakat yang melakukan demokratisasi
sejak 1970-an menunjukkan bahwa proses itu umumnya berlangsung dalam suasana
mobilisasi dan ketidaksabaran. Bahkan kadang-kadang penuh kekerasan.
(Persoalan ini akan dibahas
lebih lanjut di bagian berikut).
PENGETAHUAN
BARU?
Proposisi atau hipotesis apa yang
dihasilkan oleh teorisasi demokrasi akhir-akhir ini? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita
harus menyimak pertanyaan-pertanyaan apa
yang dicoba dijawab oleh para teoritisi
kontemporer itu. Umumnya
pertanyaan-pertanyaan mereka adalah sekitar persoalan berikut.
Apa yang menyebabkan keruntuhan
pemerintahan otoriter? Kondisi-kondisi apa yang
mendukung transisi menuju demokrasi?
Bagaimana pergantian rezim secara
demokratis berlangsung? Bagaimana demokrasi-demokrasi baru itu didirikan dan dikonsolidasikan?
Strategi dan taktik apa yang tepat bagi
demokratisasi? Apa konsekuensi dari karakteristik transisi itu terhadap masa depan
pemerintahan demokratis? Seperti akan
dibahas dibawah, walaupun banyak ilmuwan yang
hanya menekankan dimensi internal
dari perubahan demokratis itu, kita juga menemukan
beberapa karya tulis yang menelaah
dimensi eksternal persoalan itu dengan mengajukan pertanyaan:
Apa peranan aktor internasional dalam
proses transisi menuju demokrasi itu?
Walaupun tidak semua pertanyaan ini dijawab dengan
memuaskan, hasil kerja para
teoritisi dan peneliti itu telah menghasilkan banyak pengetahuan mengenai demokrasi dan
bagaimana mengembangkannya dalam suasana
sistem politik yang otoriter.
Namun sebelum
kita mereviu beberapa proposisi
yang telah dihasilkan oleh para
ilmuwan itu, kita perlu mengetahui apa
yang mereka maksudkan dengan demokrasi.
A. Makna demokrasi dan demokratisasi.
Kecenderungan umum teorisasi
demokrasi sejak 1970-an adalah
kemerosotan pengaruh pemikiran tentang
demokrasi yang "substantivist". Definisi
demokrasi yang rasional, utopian
dan ideal, yang mewarnai konseptualisasi pada masa sebelumnya,
kehilangan banyak pengaruh.
Teorisasi masakini lebih menekankan persoalan prosedur, yaitu persoalan
penciptaan prosedur. Tumpuannya adalah
gagasan yang dilontarkan Joseph
Schumpeter setengah abad lalu, yaitu demokrasi sebagai metode politik.
Menurut Schumpeter, yang oleh teoritisi
klasik disebut "kehendak rakyat" sebenarnya adalah hasil dari
proses politik, bukan motor penggeraknya
(dikutip dalam Przeworski, 1991:17).
Demokrasi atau metode demokratik menurut Schumpeter adalah
"that institutional arrangement for arriving
at political decisions in which
individuals acquire the power
to decide by means of a
competitive struggle for the
people's vote". (dikutip
dalam Huntington, 1991:6).
Definisi Schumpeterian yang lebih
bersifat empirik, deskriptif, institusional dan prosedural inilah yang
mendominasi teorisasi mengenai
demokrasi sejak 1970-an. Gagasan
yang memandang demokrasi sebagai
suatu sistem untuk memproses
konflik dimana partai yang
kalah dalam pemilihan umum tidak
berusaha merusak rezim demi
mencapai tujuannya, tetapi bersedia menerima kenyataan dan menunggu
putaran pertarungan dalam pemilihan
umum berikut (Przeworski, 1991:10-12)
adalah gagasan Schumpeterian. Begitu juga konsepsi di Palma yang menyatakan
bahwa demokrasi ada ketika gagasan koeksistensi menjadi cukup menarik bagi
kelompok-kelompok utama dalam masyarakat sehingga mereka bisa diajak
bersepakat mengenai
aturan-aturan dasar permainan
politik (di Palma, 1990:23,28,109). Definisi demokrasi
yang menekankan komponen hak pilih universal dan pemerintahan mayoritas juga
bersifat prosedural Schumpeterian.
Selaras dengan semangat itu adalah
karya Robert Dahl (1973). Ilmuwan
ini merumuskan suatu tatanan politik
yang disebutnya "polyarchy", istilah yang dipakainya untuk menyebut
demokrasi. Menurut Dahl ciri khas demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara terus-menerus terhadap
preferensi atau keinginan
warganegaranya. Tatanan politik seperti bisa digambarkan dengan memakai dua dimensi teoritik, yaitu: (1)
seberapa tinggi tingkat kontestasi,
kompetisi atau oposisi yang dimungkinkan; dan (2) seberapa banyak warganegara
yang memperoleh kesempatan
berpartisipasi dalam kompetisi politik itu. (Lihat Gambar 1.1)
Gambar 1.1: DUA
DIMENSI DEMOKRATISASI
Tinggi
|
|
|
|
TINGKAT
KONTESTASI PUBLIK
|
|
|
|
Rendah
|
|
|
|
|
Sedikit
|
|
Banyak
|
|
YANG BERPARTISIPASI
|
Berdasar dua dimensi itu Dahl
membuat tipologi empat sistem
politik: "hegemoni tertutup",
"oligarki kompetitif", "hegemoni inklusif", dan
"poliarki". Dalam gambar 1.2, Dahl juga menunjukkan kemungkinan perubahan dari sistem
"hegemoni tertutup", dimana tingkat
kontestasi publik dan partisipasi sama-sama rendah,
ke tipe sistem lain. Jalan III itulah yang dimaksud dengan "demokratisasi", yaitu
jalan menuju sistem dimana tingkat
kontestasi publik dan partisipasi sama-sama tinggi.
Gambar 1.2:
LIBERALISASI, INKLUSIVISASI, DAN DEMOKRATISASI.
Tinggi
|
Oligarki
kompetitif
|
|
Poliarki
|
LIBERALISASI
(Kontestasi publik)
|
|
|
|
Rendah
|
Hegemoni
tertutup/
eksklusif
|
|
Hegemoni inklusif
|
|
Sedikit
|
|
Banyak
|
|
INKLUSIVITAS (Partisipasi)
|
Diilhami oleh
pemikiran Dahl diatas, Diamond,
Linz dan Lipset mendefinisikan
demokrasi sebagai
"a system of
government that meets three essential
conditions: meaningful and extensive
competition among individuals and organized groups (especially political parties) for all effective positions of government
power, at a regular intervals
and excluding the
use of force; a 'highly
inclusive' level of political
participation in the selection
of leaders of policies, at least through
regular and fair elections, such that no
major (adult) social group is
excluded; and a level of civil and
political liberties --feedom of
expression, freedom of the press,
freedom to form and join
organization-- sufficient to ensure the
integrity of political
competition and participation".(Diamond, et.al., 1990:6-7)
Ini adalah mekanisme politik yang dianggap
bisa menjamin bahwa yang
memerintah akan
terus-menerus bersikap tanggap
terhadap preferensi dan keinginan warganegaranya.
B. Beberapa kondisi.
Persoalannya adalah
bagaimana menjamin agar
pemerintah selalu tanggap
terhadap kehendak rakyat, atau dengan kata
lain, berperilaku demokratis? Kondisi apa yang diperlukan agar tatanan "oligarki kompetitif", "hegemoni tertutup", maupun
"hegemoni inklusif" bisa dirubah menjadi "poliarki"?
Menurut Dahl, untuk menjamin itu
rakyat harus diberi kesempatan untuk: pertama, merumuskan preferensi
atau kepentingannya sendiri; kedua, memberitahukan perihal preferensinya
itu kepada sesama warganegara dan kepada pemerintah melalui
tindakan individual maupun kolektif; dan ketiga, mengusahakan
agar kepentingannya itu dipertimbangkan secara setara dalam
proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak didiskriminasikan berdasar isi atau asal-usulnya (Dahl,
1973:2).
Selanjutnya, kesempatan
itu hanya mungkin tersedia kalau lembaga-lembaga dalam
masyarakat bisa menjamin
adanya delapan kondisi, yaitu:
[1] kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi; [2] kebebasan mengungkapkan pendapat; [3]
hak untuk memilih dalam
pemilihan umum; [4] hak untuk
menduduki jabatan publik; [5] hak
para pemimpin untuk bersaing memperoleh
dukungan dan suara; [6]
tersedianya sumber-sumber informasi alternatif; [7] terselenggaranya pemilihan
umum yang bebas dan jujur; dan [8] adanya
lembaga-lembaga yang menjamin agar
kebijaksanaan publik tergantung pada
suara dalam pemilihan umum dan
pada cara-cara penyampaian preferensi
yang lain (Dahl, 1973:2-3).
Kedelapan jaminan-kelembagaan ini merupakan cerminan dari ukuran demokrasi yang disebut diatas: tingkat
liberalisasi dan inklusivitas. Yaitu demokrasi
adalah tatanan politik yang memiliki liberalisasi dan partisipasi yang
tinggi.
Memperjuangkan
"keterbukaan" politik seperti itu jelas tidak mudah. Proses
itu pasti melibatkan
pertentangan kepentingan antara
pemerintah dengan yang diperintah. Semakin besar perbedaan kepentingan antara
pemerintah dengan kelompok non-pemerintah, semakin besar kemungkinan bahwa masing-masing akan
menolak memberi peluang kepada pihak
lain untuk berpartisipasi secara aktif
dalam proses pembuatan
keputusan. Dengan kata lain,
semakin bersar pertentangan
antara pemerintah dengan kelompok lawannya itu,
semakin mahal "ongkos" toleransi yang
harus ditanggung
masing-masing. Artinya, semakin kecil
kemungkinan masing-masing untuk mentolerir
tindakan lawanb.
Mungkinkah pemerintah mentolerir penentangan oleh kekuatan non-pemerintah? Untuk menjawab ini Dahl mengajukan dua aksioma. Aksioma 1: kemungkinan suatu pemerintah akan
mentolerir oposisi akan meningkat kalau
"biaya" untuk bertoleransi bisa diperkirakan turun. Aksioma 2: kemungkinan suatu
pemerintah akan mentolerir oposisi akan meningkat kalau
"biaya" untuk menindasnya diperkirakan meningkat. Dengan demikian,
kemungkinan demokrasi tergantung
pada dua "biaya" itu, seperti
disebut dalam aksioma 3: semakin tinggi "biaya" penindasan melampaui
"biaya" toleransi, semakin besar
kemungkinan munculnya sistem politik yang kompetitif atau demokratis.
Menurut aksioma 3 ini, semakin kecil
biaya toleransi, semakin besar jaminan keamanan bagi pemerintah. Semakin
besar biaya penindasan, semakin
besar jaminan keamanan bagi
kelompok non-pemerintah. Karena
itu kondisi yang bisa memberi "jaminan
keamanan timbal-balik" pada pemerintah maupun pada kekuatan
non-pemerintah akan cenderung melahirkan kesempatan bagi kelompok
non-pemerintah untuk bersaing memperebutkan jabatan publik
(Dahl, 1973:14-16).
Gagasan Dahl ini menegaskan bahwa syarat bagi
perubahan ke arah tatanan yang lebih demokratis adalah adanya sikap
"saling menjamin"
antara pemerintah dengan aktor non-pemerintah. Karena masing-masing menyadari
bahwa konfrontasi habis-habisan hanya akan merugikan semuanya, maka
masing-masing terpaksa harus menyesuaikan diri dan berbagi kekuasaan. Argumen
ini menyiratkan sikap "moderasi".
Artinya, demokratisasi adalah
upaya "bargaining"
rasional dan berjangka panjang, bukan tindakan yang bernafsu dan sekali jadi.
Mengingat bahwa dalam demokrasi
pemerintah dan kebijaksanaan publik bisa berubah-ubah sesuai dengan hasil
pemantauan kehendak rakyat, seperti
pemilihan umum, maka ada bahaya bahwa rakyat bisa terombang-ambing antara kesetiaan pada berbagai aktor
politik. Dan ini bisa menimbulkan
konflik yang berkepanjangan. Bagaimana
mengatasi ini?
Rustow (1970) membahas persoalan ini
derdasar studi komparatifnya tentang
Swedia (yang melakukan demokratisasi antara
1890 dan 1920) dan Turki
(melakukannya pada akhir 1960-an). Berbeda dengan teoritisi modernisasi yang
yakin bahwa demokrasi memerlukan prasyarat
sosial, ekonomi dan kultural
tertentu, Rustow dengan tegas
menyatakan bahwa prasyarat pokok bagi
demokratisasi adalah "pembinaan negara-bangsa" demi kesatuan
nasional. Sebagai sistem penguasaan oleh kelompok mayoritas sementara,
demokrasi bisa menghasilkan
perubahan-perubahan pemimpin dan aturan
main. Agar tidak menimbulkan
perpecahan di kalangan rakyat, harus ada
kesepakatan mengenai komunitas politik
yang harus didukung oleh semua
warganegara. Kesatuan nasional memang tidak secara langsung berkaitan dengan demokratisasi, tetapi kesatuan
kebangsaan bisa membatasi meluasnya
dan mendalamnya konflik politik, sehingga tidak berlarut-larut.
C. Elit politik dan demokratisasi.
Yang paling menarik dalam
karya-karya mengenai demokratisasi akhir-akhir
ini adalah bahwa mayoritas ilmuwan itu
menghasilkan kesimpulan yang
sama. Yaitu bahwa variabel yang
paling penting dalam menjelaskan
transisi ke demokrasi sejak 1970-an
adalah perilaku elit. Dalam tulisan yang telah disebut di depan, O'Donnell dan Schmitter mengajukan argumen
bahwa "elite dispositions, calculations and pacts . . . largely
determine whether or not an
opening [to democracy] will occur at
all" (O'Donnel dan
Schmitter, 1986:19 dan 48).
Berhubung dengan karya-karya mereka
sebelumnya yang jelas didasarkan pada
pendekatan
"strukturalis", sikap
ini sangat menarik untuk diperhatikan. Karya baru mereka tidak beda dengan pikiran Linz dan
Stepan yang dahulu jadi sasaran kritik mereka.
Linz dan Stepan mencoba menjelaskan
kejatuhan dan kebangkitan kembali
demokrasi tidak dengan
menelaah variabel-variabel
konflik kelas atau kendala ekonomi, tetapi dengan
mencurahkan perhatian pada
perilaku elit atau kepemimpinan mereka.
Walaupun keduanya tidak mengatakan bahwa kendala struktural tidak
penting, mereka mengkritik karya-karya O'Donnell dan Schmitter sebelumnya sebagai terlalu banyak bertumpu
pada variabel struktural. "Democracies that we believe collapsed because of
macro-level, social or economic factors
may instead have collapsed ultimately because of poor leadership"
(Dikutip dalam Bermeo, 1990:361).
Karya kolaborasi Diamond, Linz dan
Lipset (1989) yang disebut di
depan mengenai demokrasi di Asia, Afrika
dan Amerika Latin, seperti
diduga melanjutkan argumen diatas.
Dalam bab pendahuluan ringkasan
laporan itu mereka berpendapat bahwa
"regime performance
and viability . . . are the outcome
in part of the policies and
choices that political leaders
make -acting, to be sure, within
the constraints of the
structural circumstances
they inherit. Even structures and
institutions, especially
political ones, are shaped by
the actions and options of political leaders. The
more constraining and unfavorable are the
structural circumstances,
the more skillful,
innovative, courages, and democratically committed must political leadership be for democracy to survive" (Diamond, et.al., 1990:15).
Mereka yakin
bahwa kalau terdapat
lingkungan struktural yang sangat
tidak menguntungkan bagi
demokratisasi, seringkali itu terjadi
sebagian karena ketidakmampuan para
politisi untuk menghasilkan reformasi
ekonomi dan inovasi
pelembagaan yang diperlukan bagi
tumbuhnya demokrasi.
Para ilmuwan ini sangat menekankan
pentingnya komitmen para pemimpin
politik yang kuat terhadap demokrasi. Pemimpin yang yang setia pada demokrasi
menolak penerapan kekerasan dan sarana
yang ilegal dan tidak-konstitusional untuk mengejar kekuasaan. Pemimpin
demikian juga tidak mentolerir tindak
anti-demokratis oleh partisipan
lain. Yang terakhir mereka menegaskan bahwa
"throughout the
developing world, flexible, accomodative,
consensual leadership styles have contributed notably to democratic
development" (Diamond, et.al. 1990:15-16).
Argumen serupa juga diajukan oleh O'Donnell dan
Schmitter dalam studi mereka yang dirujuk di depan. Bertentangan
dengan karya-karya mereka sebelumnya, mereka tidak melihat perilaku elit
ditentukan oleh variabel kelas. Sikap elit
tidak dipengaruhi sepenuhnya oleh kepentingan materiil mereka. Kedua ilmuwan
itu menunjukkan bahwa bahkan elit yang menduduki
kekuasaan dalam suatu negara
otoriterpun bisa terdorong untuk
merombak sistem yang mereka bangun kalau "pertimbangan
mengenai reputasi mereka di masa depan" memaksa mereka melakukan
itu. Sebagai motif bertindak, alasan ini
bisa sama kuatnya dengan kepentingan pemuasaan kebutuhan jangka pendek
(O'Donnell dan Schmitter, 1986:25).
D. Strategi dan Taktik.
Penekanan pada variabel politik diatas
memungkinkan analis untuk menelaah
pengalaman demokratisasi dalam
masyarakat yang tidak memiliki
kualitas ekonomi, sosial dan kultural yang
digambarkan dalam model Barat. Dalam keadaan tidak ada kondisi itupun masih ada harapan untuk demokratisasi.
Yang sangat krusial adalah "human
action", bukan variabel-variabel kondisional itu. Dengan kata lain, transisi menuju demokrasi
adalah "a matter of political
crafting" (di Palma, 1990:8). Karena itu persoalan strategi dan taktik menjadi sangat relevan.
Strategi dan taktik apa yang
dianggap tepat untuk menjalankan demokratisasi? Diamond, Linz, Lipset, O'Donnell,
Schmitter dan beberapa ilmuwan lain yang
menekankan variabel perilaku elit itu
juga sepakat untuk mengikuti jalan yang dirintis oleh Dahl, yang yakin bahwa gradualisme, moderasi
dan kompromi adalah kunci
menuju keberhasilan transisi ke arah demokrasi.
Ini dianggap tindakan politik yang bijaksana untuk mendemokratiskan kembali pemerintahan yang otoriter. Pesan yang disampaikan kepada
para pendamba demokrasi jelas, yaitu, bahwa mereka harus
"play it save".
Artinya, mereka harus menunjukkan citra dan tuntutan yang moderat,
memandang perjuangan itu secara bertahap
dan bersedia kerjasama dengan
para "softliners" di dalam rezim yang
berkuasa. Seperti dikatakan oleh O'Donnell dan Schmitter:
"there are certain
advantage if . . . the softliners of the
regime . . . feel they are taking the
initiative in most of the first moves during the transition . . . [It is
also equally useful if] players on the
Right have at least the illusion that they have some significant control of the
emerging game".(Dikutip dalam Bermeo,
1991:362).
Namun beberapa ilmuwan lain
mengajukan argumen yang berbeda. Pengalaman berbagai masyarakat yang melakukan
demokratisasi dalam lingkungan
otoriterisme sejak akhir
1970-an menunjukkan bahwa umumnya
transisi itu berlangsung dalam
suasana mobilisasi dan ketidaksabaran. Bahkan tidak jarang
disertai dengan tindak kekerasan. Untuk
memahami ini Share mengajukan sebuah
tipologi yang menarik. Ilmuwan
ini menelaah pola-pola transisi menuju demokrasi berdasar dua kriteria, yaitu
keterlibatan pemerintah yang sedang
berkuasa dan jangka waktu. Dua
pertanyaan yang diajukan adalah: [1]
Apakah transisi itu dilakukan dengan partisipasi atau persetujuan
para pemimpin rezim otoriter yang berkuasa, atau tidak?; dan
[2] Apakah transisi itu berlangsung secara secara bertahap, melewati masa
lebih dari satu generasi,
atau berjalan cepat? Hasilnya adalah tipologi berikut.
Demokratisasi inkremental, yaitu transisi yang
melibatkan para pemimpin yang sedang berkuasa dan berlangsung
secara bertahap, adalah
tipe yang paling tidak umum. Selain
Inggris dan negara-negara Eropa Utara, sedikit sekali negara yang mengalami transisi inkremental. Untuk
masakini, tipe ini juga paling sulit
terjadi. Komunikasi massa
dan efek demonstrasi antar
negara sekarang mempersulit pelaksanaan pembukaan proses politik secara inkremental.
Begitu juga, kemungkinan transisi
melalui perjuangan revolusi yang
berlarut-larut, dimana kekuatan oposisi tumbuh
secara inkremental menghadapi
rezim otoriter yang kaku, sangat kecil. Suasana seperti
itu justru hanya mendorong munculnya
gerakan revolusioner, yang umumnya didominasi oleh tokoh-tokoh yang
tidak setia kepada tujuan demokrasi seperti yang didefinisikan disini.
Karena alasan-alasan itu, kebanyakan
teoritisi dan praktisi politik lebih
menekankan pembicaraan mengenai transisi ke
demokrasi secara cepat. Namun, transisi demokratisasi secara cepat itu
menghadapi banyak kesulitan. Cepatnya perubahan aturan main dari otoriter
ke demokratis bisa membuka kemungkinan
ketidakstabilan politik.
Karakteristik persoalan itu tergantung pada sifat konsensual atau non-konsensualnya.
Gambar 1.2:
TIPE-TIPE TRANSISI DARI OTORITERISME KE DEMOKRASI
|
Demokratisasi Melibatkan Para Pemimpin Rezim?
|
||
|
Ya (Konsensual)
|
Tidak
(Non-Konsensual)
|
|
KECEPATAN
|
Bertahap
|
Demokrasi
inkremental
|
Transisi melalui perjuangan
revolusioner berkepanjangan
|
|
Cepat
|
Transisi
melalui
transaksi
|
Transisi melalui perpecahan;
(a) revolusi
(b) kudeta
(c) keruntuhan
(d) “extrication”
|
Sumber: Donald Share
(1987:530).
Walaupun paling
banyak dipelajari, transisi
inkremental adalah yang paling
jarang terjadi. Sebagian besar
demokrasi modern justru lahir melalui transisi melalui perpecahan. Transisi seperti ini
bisa berlangsung dalam berbagai cara.
Yang paling sering adalah
melalui kejatuhan ("collapse") rezim
otoriter sebelumnya, umumnya karena kalah perang atau diduduki
pasukan asing. Contohnya adalah negara-negara demokratis Eropa Barat dan Jepang sesudah Perang Dunia II. Cara
kedua adalah melalui "extrication", yaitu ketika rezim otoriter
tiba-tiba kehilangan legitimasi dan segera menyerahkan kekuasaan kepada kekuatan
oposisi demokratis, seperti yang terjadi di Argentina
sesudah Perang Malvinas. Transisi
melalui perpecahan juga
bisa berlangsung melalui cara ketiga, yaitu kudeta, dimana rezim otoriter
digulingkan oleh sekelompok elit dalam militer atau polisi. Contohnya
adalah transisi Portugal pertengahan 1980-an, paling tidak
di masa awalnya. Cara terakhir adalah melalui revolusi seperti yang di Perancis dua ratus tahun lalu.
Berbagai bentuk transisi melalui
perpecahan ini pada dasarnya serupa, yaitu berlangsung cepat dan
non-konsensual. Prosesnya selalu
melibatkan penolakan terhadap, atau paling tidak delegitimasi, rezim otoriter sebelumnya. Seringkali
kemampuan men-delegitimasi rezim sebelumnya itulah satu-satunya
sumber legitimasi bagi rezim demokratis
penggantinya. Akibatnya, rezim yang
muncul dari proses transisi itu
hampir selalu berusaha menggusur dari kedudukan penting tokoh-tokoh yang
terlibat dengan rezim otoriter sebelumnya. Dalam proses transisi seperti ini
umumnya juga terjadi banyak penghukuman terhadap pelaku tindak otoriter di
masa sebelumnya. Banyak tindakan
simbolis yang dimaksud untuk lebih mendiskreditkan rezim sebelumnya dan
memberi ganjaran psikologis terhadap
pendukung rezim baru, misalnya perubahan nama-nama jalan dan kota,
penggusuran patung-patung, larangan
terhadap karya-karya kultural,
dsb.
Transisi melalui perpecahan memiliki
dua kelemahan. Pertama, kondisi
bagi terjadinya transisi seperti
itu sulit diharapkan muncul dalam kasus-kasus
pemerintahan otoriter masakini.
Kejatuhan pemerintahan seperti itu, misalnya, paling sering berlangsung
melalui kekalahan dalam perang. Walaupun keadaan seperti bukannya tidak mungkin, seperti yang terjadi di Argentina
sesudah Perang Malvinas, kasus
seperti itu tidak bisa
diharap akan berulang dengan mudah. Kejatuhan pemerintahan melalui proses
seperti itu di jaman sekarang justru bisa menimbulkan
konflik internasional yang meluas.
Kedua, kondisi-kondisi yang
memerosotkan legitimasi pemerintah
otoriter itu bisa juga menjadi penghalang bagi
konsolidasi pemerintah demokratis
penggantinya. Krisis ekonomi yang gawat, atau kegagalan politik luarnegeri, mungkin
mendorong para pemimpin militer seperti di Argentina kembali ke
tangsi, tetapi jangan-jangan itu sebagai
upaya "cuci tangan", yaitu dengan mewariskan kepada para pemimpin baru banyak persoalan
yang sulit dipecahkan. Dan ini bisa
menggagalkan konsolidasi pemerintahan demokratis itu.
Begitu juga, transisi melalui kudeta militer mungkin
saja menggusur rezim otoriter,
tetapi proses itu pada akhirnya akan mempolitisasi dan bisa memecah-belah
militer. Pengalaman transisi demokratisasi
di Portugal menunjukkan bahwa kudeta
seperti itu membuat militer
terpolitisasi dan perwira seperti ini
menghambat demokratisasi. Selain itu, kudeta militer selalu umumnya
melibatkan tindakan kekerasan politik dan bisa menimbulkan kondisi bagi kemenangan kelompok garis-keras dalam
angkatan bersenjata.
Secara logika, hanya transisi melalui transaksi yang
menjanjikan bentuk demokratisasi secara damai dan cepat. Hanya sayangnya,
transisi melalui transaksi menuntut serangkaian syarat khusus yang mungkin
sulit dipenuhi di sebagian
besar rezim otoriter masakini (Share, 1987:531-532).
Sampai disini kita perlu menengok karya Huntington mengenai transisi ini.
Seperti Share, Huntington juga mengajukan empat
pola transisi, yaitu: (1) pola transformasi, dimana elit penguasa mengambil prakarsa memimpin upaya
demokratisasi, seperti di Spanyol dan Brazil; (2) pola "replacement", dimana kelompok oposisi memimpin perjuangan menuju demokrasi, seperti di Argentina,
Jerman Timur dan Portugal);
(3) pola "transplacement" dimana
demokratisasi berlangsung
sebagai akibat negosiasi dan
"bargaining" antara
pemerintah dengan kelompok oposisi, seperti di Polandia, Nicaragua, Bolivia (dan Afrika Selatan?); dan
(4) pola intervensi, yang jarang
terjadi, yaitu dimana lembaga-lembaga demokratis dibentuk dan dipaksakan berlakunya oleh aktor
dari luar, seperti di Grenada dan Panama (Huntington, 1991:113-114).
Pada
dasarnya yang dimaksud dengan
pola transformasi dan "transplacement" dalam konseptualisasi
Huntington merupakan unsur dari pola transasisi melalui transaksi dalam
tipologi Share. Dan sebagian besar
transisi demokratis sejak pertengahan
1970-an sampai 1990, menurut
Huntington, berlangsung mengikuti dua
pola ini. Dari 35 kasus demokratisasi yang berlangsung
pada kurun waktu itu,
16 berlangsung melalui
transformasi, 11 melalui "transplacement", 6 secara
"replacement" dan 2 akibat intervensi. Yang juga menarik adalah kenyataan bahwa
sepertiga dari kasus-kasus
itu menunjukkan bahwa demokratisasi berlangsung
melalui negosiasi antara elit penguasa dengan kelompok oposisi (Huntington, 1991:113).
Namun seperti telah diungkapkan di
atas, transisi ini menuntut syarat yang sulit. Yang pertama, adalah
prasyarat adanya kemauan rezim otoriter untuk mengambil
inisiatif melakukan transisi menuju
demokrasi. Banyak pihak menyangsikan
ini. Kalau perubahan itu hanya
akan menimbulkan resiko yang merugikan dirinya sendiri, apakah cukup masuk akal
untuk berharap bahwa pemimpin rezim
otoriter itu akan mengambil inisiatif itu? Mengapa
tidak melestarikan
kekuasaannya dengan melakukan
sedikit perubahan
kebijaksanaan dan sirkulasi elit seperlunya? Memang
persoalan paling sulit adalah mengenai: Apa yang bisa mendorong para
pemimpin utama rezim mengambil keputusan
untuk memulai proses transisi? Apa yang bisa membuat mereka bisa
mentolerir setiap artikulasi kepentingan yang memaksakan transisi?
Prasyarat kedua adalah kemampuan
rezim otoriter untuk menerapkan
transisi melalui transaksi. Ini juga
merupakan persoalan besar. Pertanyaan
klasik dalam hal ini adalah
apakah sistem otoriter bisa
dirubah menjadi demokratis (atau sebaliknya)
hanya melalui melalui transformasi di dalam dan tanpa
"breakdown"? Para pemimpin
transisi melalui transaksi menghadapi
banyak sekali halangan. Para pemimpin garis keras dalam rezim
otoriter hampir pasti akan menentang
demokratisasi, atau paling tidak akan
berusaha membatasinya dengan cara-cara yang tidak bisa diterima oleh para pemimpin gerakan demokrasi. Para
penggerak oposisi demokratis itu juga tidak akan menerima begitu saja
suatu transisi ke demokrasi yang dipimpin oleh sekelompok
pemimpin dari rezim yang baru saja
dijatuhkan (Share, 1987:531-534).
Pembicaraan mengenai persoalan ini membawa kita ke gagasan Dahl
mengenai upaya pencarian suatu sistem jaminan timbal-balik antara pemimpin
yang sedang berkuasa dengan
pemimpin oposisi. Yaitu suatu
kerangka kerja yang bisa menjamin
bahwa toleransi akan saling
menguntungkan. Sebelum sistem seperti ini bisa diciptakan, rezim baru yang
kompetitif hanya akan mengundang munculnya kembali penguasaan
hegemonik oleh salah satu
pemenang dalam persaingan itu.
Pada tingkat masyarakat, prospek
demokratisasi hampir pasti akan
mendorong munculnya tuntutan akan perubahan ekonomi, sosial, kultural dan politik. Politisasi dan mobilisasi
masyarakat yang semakin meningkat bisa menakutkan atau mengancam para
pemimpin garis-keras. Pada tingkat elit, permulaan transisi melalui
transaksi bisa memecah koalisi otoriter, ketika beberapa elit menyebal dan bergabung
dengan kekuatan demokratis, sementara
yang lain melakukan berbagai usaha menentang para pemimpin reformis
atau membangun kekuatan untuk
membentengi diri kalau terjadi
perubahan. Seperti dikatakan
O'Donnell, "this type of democratization poses an enigma that severely
tests the ingenuity of the 'social
engineers' who offer their expertise to
accomplish a task which amounts to
squaring a circle" (Dikutip dalam Share 1987:534).
E. Variabel internasional.
Yang
menarik dari literatur yang kita bahas
diatas adalah hampir tidak adanya pembahasan secara khusus variabel
internasional, terutama ekonomi politik internasional. Dari
tulisan-tulisan di awal 1970-an,
ketika mereka membahas kejatuhan rezim
demokratis dan munculnya otoriterisme, ilmuwan seperti O'Donnell dan
Schmitter sangat menekankan
pentingnya variabel eksternal ini. Tetapi
dalam karya mereka akhir 1980-an,
ketika membahas kemunculan kembali demokrasi, mereka yakin bahwa
faktor-faktor domestik
memainkan peranan pokok
(O'Donnell dan Schmitter, 1986:118-119).
Benarkah begitu?
Seorang ilmuwan Polandia
yang menulis mengenai proses demokratisasi di Eropa Timur berpendapat
sebaliknya. Dalam tulisan itu ia menyatakan bahwa
"the contemporary world is divided into 'centers' and
'peripheries'. The processes taking
place in Poland today cannot be
analyzed in separation from the
processes in the Soviet Union . . . The
period has come when the Soviet Union
has become a supporter of the idea of political pluralism
. . . If one accepts
the proposition that the
center influences peripheries,
the hope of steady withdrawal of
authoritarianism in the East bloc is
strengthened . . . The anticommunist revolution in Czechoslovakia and
East Germany created
a favorable international context for further changes in
Poland. So did political
developments in the Soviet Union" (Wesolowski, 1990:457).
Dari
perspektif yang berbeda, Richard Falk juga menegaskan relevansi "global
setting" bagi pengembangan
potensi-potensi demokratis di
tingkat nasional. Dalam studinya mengenai
kaitan-kaitan global seperti itu, ia mengusulkan dua pendekatan: pendekatan sistemik dan pendekatan aktor (Falk,
1982:196).
Pendekatan sistemik berusaha menunjukkan relevansi
sistem dunia, atau sistem regional atau sub-regional yang ada di
dalamnya. Pendekatan ini mengakui bahwa struktur ketimpangan dan hegemoni global dalam beberapa segi mungkin
berkorelasi dengan perkembangan potensi-potensi demokratis masyarakat nasional.
Peran hegemonik
negara-negara adidaya
seringkali menghambat gerakan demokrasi. Awal 1980-an Gerakan Solidaritas di Polandia
dan the Front di El Salvador mengalami
ini. Tetapi ketika aktor hegemonik tersebut disibukkan oleh urusan lain (Uni
Soviet di Afghanistan),
intervensinya di luar negeri baru
saja mengalami kegagalan (Amerika
Serikat segera sesudah perang Vietnam),
tidak mampu memproyeksikan kekuatan militernya (Amerika
Serikat di Iran, tahun
1978), atau ditentang berbagai
kekuatan politik internal dan
eksternal (penentangan terhadap penggunaan
kekuatan militer Soviet di
Polandia dan terhadap penggunaan
kekuatan militer Amerika di Amerika Tengah awal 1980-an), maka
prospek bagi demokratisasi bisa
meningkat, karena intervensi
negara adidaya yang brutal bisa dicegah.
Pendekatan kedua berusaha menelaah dampak
aktor-aktor luar terhadap potensi
demokrasi. Aktor-aktor seperti itu bisa berujud: individu-individu yang
menduduki posisi strategis
(misalnya, Presiden suatu negara adidaya); organisasi internasional
non-pemerintah (misalnya, badan keagamaan, serikat buruh,
Amnesti Internasional, dsb.);
lembaga finansial (misalnya, IMF dan Bank
Dunia); dan organisasi politik (misalnya, PBB).
Studi Falk
menghasilkan banyak generalisasi
yang patut diperhatikan, yang
beberapa diantaranya dimuat dibawah ini.
1. Aktor-aktor
negara, kecuali dalam keadaan ekstrim, bisa mendorong
demokratisasi dengan bersetuju untuk
menghormati hak menentukan nasib sendiri dan tidak mencampuri urusan
urusan internal negara lain.
Prinsip non-intervensi adalah penjamin
terbaik dalam sistem dunia sekarang ini bagi demokratisasi.
2. Inisiatif
demiliterisasi pada semua tingkat sangat
mendukung pengembangan potensi-potensi demokrasi. Pengalaman menunjukkan
bahwa militerisasi politik
internasional umumnya menghambat demokratisasi. Dalam hal ini,
perdagangan senjata Utara-Selatan dan
bantuan latihan militer di luar negeri demi
"keamanan dalam negeri" sangat mengganggu pengembangan potensi
demokrasi karena hal itu cenderung memperkuat sektor militer dibandingkan
dengan sektor lain. Perlombaan
senjatan antara negara-negara
besar juga merusak
kemungkinan demokratisasi. Ini terjadi
karena kegiatan itu biasanya meningkatkan ketegangan internasional, yang
kemudian menyebabkan semakin
besarnya tekanan politik domestik pada "keamanan
nasional". Kebijaksanaan ini biasanya melibatkan suasana kerahasiaan, pengawasan ketat pada kegiatan warganegara
dan dorongan kearah militerisme di banyak negara.
3. Publikasi
mengenai tindakan sewenang-wenang suatu
pemerintah otoriter dan penarikan
dukungan terhadap pemerintah itu bisa
membantu mengurangi otoriterisme dan mendorong demokratisasi.
4. Penggalakan
aktivisme normatif di arena global
dan transnasional demi
perlindungan hak-hak azasi manusia umumnya mendorong demokratisasi.
5. Upaya selektif
untuk mengurangi beban ekonomi jangka-pendek melalui pengurangan beban
hutang, pemberian pinjaman baru, dan bantuan asing bisa menggalakkan
demokratisasi.
6. Penilain secara akademik maupun jurnalistik mengenai
kegagalan pemerintahan
anti-demokrasi dan keberhasilan
kepemimpinan demokratis dalam mencapai tujuannya bisa mendorong demokratisasi.
7. Munculnya
suatu tata ekonomi
internasional baru yang
bisa mensetarakan hubungan
Utara-Selatan dan yang bisa memperkuat
kemampuan semua negara untuk mencapai
tahap menentukan nasib sendiri.
Generalisasi yang dihasilkan Falk masih ada beberapa lagi, namun
yang tertulis diatas adalah yang paling
relevan untuk pembucaraan kita
kali ini. Namun untuk memahami
persoalan itu dengan lebih baik
kita perlu memperhatikan pendapat Diamond
yang menyatakan bahwa bantuan
eksternal itu juga bisa
mengganggu proses demokratisasi. Bantuan seperti itu sangat
tergantung pada banyak hal,
seperti: siapa aktor eksternal itu,
apa tujuannya yang sebenarnya, bagaimana pandangan masyarakat
negeri penerima mengenai aktor itu, dalam bentuk apa bantuan itu
diberikan, dan diarahkan kepada siapa
atau pihak mana (di dalam negeri penerima) bantuan itu? Ia juga menekankan
bahwa "official external efforts to
move a country toward popular sovereignty and democracy should place increasing
emphasis on coordinated, multilateral
supports" (Diamond, 1989).
Upaya seperti ini harus diarahkan ke beberapa sasaran, dua diantaranya adalah
berikut ini. Pertama, mengembangkan
pluralisme dan otonomi dalam kehidupan organisasi dan
arus informasi; dan kedua, mendorong upaya memperkuat aturan hukum dan
kepastian hukum di negeri penerima bantuan itu.
Uraian ringkas dalam bab ini telah
menunjukkan betapa banyak yang
telah dilakukan oleh ilmuwan
politik, namun betapa masih jauh lebih banyak lagi yang belum kita
ketahui mengetahui fenomena demokrasi.
Dengan bekal pertanyaan-pertanyaan di
atas, mari kita lanjutkan
pembicaraan mengenai topik yang menarik ini.
Post a Comment
Post a Comment