-->

LOGIKA KAPITAL DAN DEMOKRATISASI

Post a Comment


            Yang baru saja kita bahas adalah teorisasi mengenai demokratisasi  yang dominan sejak 1970-an. Konseptualisasi  yang  muncul dari  pengalaman transisi demokrasi kontemporer itu nampak  menonjolkan dua karakteristik. Pertama, pendefinisian yang menekankan dimensi  prosedural, yaitu demokrasi adalah  persoalan  tata-cara memerintah. Dan kedua, eksplanasi terhadap keberhasilan  demokratisasi yang menekankan peranan "agent" sebagai determinan  pokok. Yaitu  demokratisasi hanya akan terjadi kalau ada  aktor  politik yang mencoba mencari peluang dalam berbagai kondisi yang  dihadapi.  Yang tidak terliput dalam reviu panjang itu  adalah  gagasan yang menghubungkan demokrasi dengan struktur yang  melingkupinya. Terutama  sekali  perdebatan  yang terjadi  sejak  lama  mengenai peranan kapital dalam proses perjuangan demokratis itu.
            Dalam  bab  ini  kita akan membahas  dimensi  itu,  terutama dengan mengajukan pertanyaan: Kesempatan apa yang diberikan  oleh struktur sosial-ekonomi pada pelaku proses demokratisasi?   Kapan dan  dalam kondisi apa kesempatan itu muncul?   Bagaimana  format demokratisasi yang muncul dari proses itu? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini kita bisa belajar dari karya klasik  Barrington Moore (1966), G. Therborn (1978), dan Richard Robison (1988).


MOORE: ALIANSI KELAS DAN DEMOKRASI.
            Pada  dasarnya karya Moore bermaksud menggambarkan apa  yang terjadi dengan hubungan antara kelas-kelas sosial dalam  masyarakat  dengan  negara ketika dunia mengalami  transformasi  delapan abad, mulai abad 17 sampai kira-kira tahun 1940-an, dan menjelaskan mengapa transformasi itu terjadi. Seperti sudah banyak  diketahui oleh pengkaji ilmu sosial, inti dari transformasi itu, yang lebih dikenal dengan istilah "modernisasi", adalah industrialisasi  kapitalis  dan komersialisasi pertanian.  Tiga  kelas  sosial utama yang diperhatikan Moore adalah kelas priyayi pemilik tanah, petani, dan borjuasi kota. Tesis yang diajukan Moore adalah bahwa proses demokratisasi suatu bangsa sangat dipengaruhi pola  hubungan  antara ketiga kelas sosial itu dengan negara pada masa  berlangsungnya  proses modernisasi. Perbedaan pola  hubungan  antara kelas-kelas  sosial tersebut dengan negara di  masa  transformasi itu  diduga  akan menghasilkan proses dan format  demokrasi  yang berbeda.  Untuk membuktikan tesis itu Moore melakukan studi  perbandingan sosiologis-historis atas pengalaman Inggris,  Perancis, Amerika  Serikat, Jerman, Russia. Cina, Jepang, dan India.  Dalam studi itu Moore mengajukan empat pertanyaan besar:
1.    Pola hubungan  antara kelas dan negara bagaimana yang  membuat Inggris,  Amerika  Serikat dan Perancis  berhasil  menciptakan demokrasi  liberal?  Apakah ketiga bangsa itu  mengalami  pola hubungan kelas dan negara yang sama?
2.    Kalau  ya,  apakah pola mereka berbeda  dengan  pola  hubungan kelas  dan  negara  yang menghasilkan fasisme  di  Jepang  dan Jerman tahun 1930-an?
3.    Apakah ada pola lain lagi yang melahirkan revolusi komunis  di Cina akhir 1940-an dan Russia akhir 1910-an?
4.    Dan bagaimana menjelaskan munculnya demokrasi di India?
            Dalam  menjawab  pertanyaan-pertanyaan  itu,  Moore  mencoba menunjukkan bahwa dalam sejarah modernisasi ada beberapa  "jalur" yang berbeda-beda. Berbeda dengan teoritisi modernisasionis  yang memandang  demokrasi sebagai satu-satunya akhir  dari  perjalanan modernisasi  masyarakat,  Moore mengambarkan  adanya  jalur-jalur alternatif.  Transformasi sosial-ekonomi besar-besaran yang  berlangsung sejak abad 17 itu bukan hanya menghasilkan bangsa-bangsa dengan  sistem politik demokratis, tetapi juga sistem yang  fasis dan komunis. Bagaimana proses transformasi di masing-masing jalur itu?
            Jalur  menuju, menurut konseptualisasi Moore,  seperti  yang diringkas oleh Potter 1992:284), bisa dirumuskan dalam  generalisasi berikut ini: Demokrasi muncul dalam kondisi dimana  segolongan  borjuasi yang kuat dan independen muncul dengan  kepentingan yang  bertentangan  dengan rezim masa lalu dan  mampu  menerapkan kontrol  atas kebijakan nasional (sementara pada waktu yang  sama suatu perimbangan kekuatan antara kelas atas pemilik tanah dengan negara  tetap  dipertahankan) dan dimana  pengaruh  petani  lemah sekali atau bahkan tidak ada karena telah ditransformasikan  atau dihancurkan oleh para tuan tanah dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses komersialisasi pertanian.
            Jalur  sejarah  yang  berbeda,  yang  menghasilkan   fasisme (seperti di Jepang tahun 1930-an) bisa diringkas sebagai berikut: Fasisme  muncul dalam kondisi dimana borjuasi kota relatif  lemah dan  bertumpu  pada kelas atas pemilik tanah yang  dominan  untuk mensponsori komersialisasi pertanian melalui dominasi mereka atas negara, yang memaksakan disiplin perburuhan pada petani.
            Jalur ketiga yang menghasilkan revolusi komunis (seperti  di Cina tahun 1940-an) dijelaskan oleh Moore sebagai berikut:  Revolusi komunis terjadi dalam kondisi dimana borjuasi kota lemah dan didominasi  oleh negara, kaitan antara petani dengan  tuan  tanah lemah, tuan tanah tidak mampu melakukan komersialisasi pertanian, dan  petani  yang  bersatupadu berhasil  membangun  aliansi  yang memiliki kecakapan organisasi.
            Yang  keempat  adalah jalur yang menurut  Moore  agak  khas, yaitu  jalur  yang  ditempuh India untuk  menjadi  demokrasi.  Di masyarakat  India  tahun 1940-an, modernisasi  tidak  berlangsung sedinamis di ketiga kasus di atas, karena negara kolonial  melindungi kelas atas pemilik tanah dan membiarkan mereka  mengantongi sebagian  besar surplus ekonomi yang dihasilkan oleh  petani  dan tidak  membelanjakan  surplus  itu  untuk  mendorong  pertumbuhan industrialisasi.  Karena itu, borjuasi kotanya lemah, kelas  atas pemilik  tanahnya tidak berkepentingan  melakukan  komersialisasi pertanian,  petaninya tidak bersatu dan tidak  memiliki  pemimpin untuk melakukan aksi politik, dan tidak satupun dari ketiga kelas sosial yang mencoba memutuskan hubungan dengan masa lalu. Dilihat dari  tesis  Moore tentang "jalur demokrasi"  di  atas,  kerangka struktural  sosial yang ada di India waktu itu tidak  menjanjikan kemungkinan  tumbuhnya  demokrasi.  Tetapi,  nyatanya   demokrasi tumbuh di India. Mengapa?
            Menurut Moore:
"pemerintah  jajahan  Inggris  di  India   umumnya bertumpu  pada kelas-kelas atas di pedesaan,  para pangeran dan pemilik tanah luas di banyak,  tetapi tidak di semua, wilayah negeri itu . . .  Beberapa konsekwensi  politik  penting  dari  kecenderungan untuk bertumpu pada kelas atas pedesaan itu  perlu segera diperhatikan . . . Kecenderungan ini mengalienasi  kelas-kelas  komersial  dan  profesional, yaitu borjuasi baru India, ketika mereka perlahan-lahan  muncul  ke permukaan pada abad  19.  Dengan memisahkan  kelas  atas pemilik  tanah  dari  para pemimpin  kota  yang baru muncul  dan  lemah  itu, kehadiran  Inggris mencegah  terbentuknya  koalisi reaksioner  yang  menjadi ciri  model  Jerman  dan Jepang. Ini bisa disebut sebagai sumbangan penting yang  kemudian  menentukan  pembentukan  demokrasi parlementer di India, paling tidak sama pentingnya dengan  penetrasi gagasan Inggris  melalui  kelas-kelas profesional India. Tanpa paling tidak kondisi-kondisi struktural yang menguntungkan, gagasan-gagasan demokrasi yang diimpor dari Inggris paling banter  hanya akan menjadi 'literary  playthings'. Terakhir, kehadiran Inggris mendorong kaum borjuasi  India untuk melakukan akomodasi dengan  petani demi  memperoleh basis dukungan yang  besar.(Moore dikutip dalam Potter, 1992:284).

            Dari  uraian  itu kita temukan  tiga  penyebab  keberhasilan India mengembangkan demokrasi. Pertama, negara kolonial menciptakan kondisi struktural yang menguntungkan bagi pertumbuhan demokrasi parlementer dengan cara memisahkan kelas atas pemilik  tanah dari kelas-kelas komersial dan profesional kota yang baru muncul. Kedua, gagasan politik Inggris, termasuk gagasan tentang demokrasi  perwakilan, merasuk ke dalam pikiran anggota kelas  komersial dan  profesional  itu ketika mereka  bersekolah.  Ketiga,  ketika kelas-kelas komersial dan profesional ini mulai  mempertimbangkan gagasan  itu  dengan lebih serius, dan bahkan  membentuk  gerakan politik (nasionalis) untuk mencapai tujuan-tujuan politik, mereka didorong ke arah akomodasi dengan kelas petani untuk meningkatkan efektivitas politik mereka. Disini nampak bahwa beberapa  kondisi yang dimiliki oleh bangsa-bangsa lain yang menempuh jalur  demokrasi  juga  terdapat dalam kasus  India,  tetapi  kondisi-kondisi lainnya tidak ada. Misalnya, di India tidak terjadi komersialisasi  pertanian atau transformasi petani seperti di  Inggris,  juga tidak ada kelas borjuasi yang dinamik dan dominan. Karena  itulah demokrasi India itu oleh Moore dianggap kasus yang khas.
            Inti  dari  eksplanasi umum Moore tentang  demokrasi  adalah bahwa  dari  perkembangan kelas-kelas sosial dan  aliansi  antar-kelas muncullah kondisi struktural yang menguntungkan  perkembangan demokrasi; dan kondisi-kondisi itulah yang akhirnya mendorong pembentukan  demokrasi parlementer. Memang ada peranan  individu-individu yang tergerak oleh gagasan demokrasi, tetapi pilihan dan tindakan mereka sangat ditentukan oleh struktur kelas, dan  gagasan demokratis itu tidak akan lebih dari sekedar "literary  playthings"  kalau  diwadahi  oleh  kondisi-kondisi  struktural  yang menguntungkan itu. Ini adalah argumen struktural yang  meyakinkan mengenai  mengapa  India bisa menjadi  demokrasi  sedangkan  Cina tidak.

THERBORN: PERAN KAPITAL.
            Seperti  dibahas oleh Potter, (1992:285),  argumen  Therborn mengenai peran kapital dalam proses demokratisasi bisa dibagi  ke dalam  dua bagian berikut. 
            Pertama,  kecenderungan-kecenderungan tertentu yang  inheren atau  merupakan ciri pokok kapitalisme bisa menciptakan  kondisi-kondisi yang mendorong munculnya demokrasi. Misalnya:
·      Kapitalisme menciptakan pasar tenaga kerja "bebas", artinya, buruh,  yang dibebaskan dari ikatan dengan  tuan-tanah  feudalnya,  bisa menjual atau membeli tenaga kerja  demi  upah. Kecenderungan  inheren  ini, bersama-sama  dengan  ciri-ciri lain  kapitalisme,  memberi landasan yang  kemudian  dipakai oleh buruh untuk memperjuangkan nasibnya. Gerakan buruh  itu memainkan peran pokok dalam perjuangan menuju demokrasi.
·      Hubungan  produksi  kapitalis cenderung  menciptakan  "kelas panguasa yang secara internal saling berkompetisi dan terpecah-belah  tetapi hidup berdampingan secara  damai".  Mereka ini terpecah dalam beberapa fraksi, seperti pedagang,  bank, industri,  pertanian,  dsb. Dalam keadaan  tidak  ada  pusat kekuasaan  yang  tunggal, kelas-kelas  atas  itu  memerlukan suatu mekanisme politik yang memungkinkan proses  pemilihan, musyawarah dan perwakilan. Pada tahap-tahap awal  kepitalisme, situasi seperti ini telah mendorong munculnya  republik-republik yang didukung orang-orang kaya atau monarki-monarki parlementer (seperti di Inggris). Dari awal seperti  itulah, yang muncul akibat kecenderungan inheren di dalam kapitalisme,  kemudian  muncul lembaga-lembaga  legislatif  demokrasi parlementer.

            Kedua,  kecenderungan-kecenderungan inheren itu  betul-betul mendorong  munculnya  demokrasi kalau terkait dengan  salah  satu atau ketiga hal berikut. Ini adalah faktor-faktor yang menentukan kapan suatu negara kapitalis bergerak menuju demokrasi:
·      Pengalaman  kalah  dalam perang.  Suatu  negara  mengalahkan negara lain dalam perang dan kemudian memaksakan pelaksanaan demokrasi, misalnya Austria, Jerman, Jepang.
·      Mobilisasi  rakyat secara nasional untuk menghadapi  ancaman dari dari luar. Ini mengandung dua aspek: [a]  demokratisasi sebagai sarana melakukan mobilisasi nasional untuk keperluan perang, seperti Undang-undang Kanada tentang Pemilihan  Umum di masa Perang, tahun 1917; [b] demokratisasi sebagai akibat dari  mobilisasi  rakyat dalam masa  perang,  misalnya,  hak pilih untuk wanita Anerika Serikat tahun 1919.
·      urni perkembangan internal, misalnya perpecahan di  kalangan kelas-kelas penguasa.
            Fokus eksplanasi Therborn agak berbeda dari pusat  analisis Moore, walaupun keduanya sama-sama mementingkan peranan  struktur sosial dalam proses demokratisasi. Therborn berusaha  menjelaskan bagaimana  dan  mengapa suatu demokrasi muncul pada  suatu  waktu tertentu, tidak pada waktu lain. Ia sangat berminat pada  persoalan kapan sebenarnya demokrasi bisa muncul. Jawaban yang  diberikannya adalah bahwa demokrasi muncul sesudah struktur kapitalisme sudah  kokoh.  Singkatnya,  kerangka  logika  kapitalisme  sangat menentukan.  Demokrasi  hanya  bisa muncul  dalam  kerangka  itu. Perubahan  Jepang  dari  fasisme ke  demokrasi  dijelaskan  dalam konteks  ini, yaitu: di dalam struktur kapitalisme  Jepang  waktu itu  terdapat kecenderungan-kecenderungan inheren  tertentu  yang menguntungkan  demokrasi. Ketika Jepang kalah dalam Perang  Dunia II dan Amerika Serikat memaksakan suatu bentuk demokrasi padanya, struktur kapitalisme sudah ada dan struktur inilah yang melestarikan  demokrasi  itu. "Agency" yang mencanangkan  inisiatif  itu, yaitu aktor internasional dan nasional, dan "struktur" kapitalisme  yang ada memang secara bersama-sama  menentukan  keberhasilan demokratisasi  itu,  namun faktor struktural  itu  dianggap  jauh lebih penting.

ROBISON: DEMOKRATISASI NEGARA INDUSTRI BARU?
            Penjelasan teoritik terhadap munculnya gerakan demokrasi  di negara-negara industri baru (NIB) di Asia Timur dan Tenggara juga menerapkan logika kapital seperti diatas. Yaitu, di dalam kapitalisme  terdapat  kecenderungan inheren yang  mendorong  tumbuhnya demokrasi.  Walaupun  setiap masyarakat mungkin  menjalani  jalur pengalaman  sejarahnya  sendiri-sendiri, yang mungkin  unik  atau sangat  berbeda  satu-sama-lain, ilmuwan bisa  menunjukkan  bahwa sebenarnya ada pola yang sama di antara berbagai pengalaman  itu. Robison (1988), misalnya, menemukan bahwa pengalaman berbagai NIB di  Asia  Timur  dan Tenggara itu memiliki  ciri-ciri  yang  sama berikut ini:
1.    Perkembangan cepat kapitalisme industrial (tahap akhir) di Asia  menciptakan  kelas-kelas pemilik kapital  baru  yang padamulanya  sangat rentan; dan perkembangan ini  didukung oleh yang negara yang otoriter.
2.    Negara-negara otoriter seperti itu cocok untuk menjalankan fungsi-fungsi  politik  dan ekonomi yang  sangat  esensial bagi pertumbuhan kapitalisme (tahap akhir).  Fungsi-fungsi itu a.l.: menjamin bahwa tidak akan terjadi reformasi atau revolusi sosial yang umumnya diinginkan buruh dan  petani, melakukan investasi dalam industri berat dan infrastruktur ekonomi,  memberikan kredit murah dan proteksi tarif  bagi kapitalis,  menerapkan monopoli perdagangan, membuat  kontrak-kontrak kerja khusus dengan pengusaha-pengusaha untuk pemasokan barang atau pekerjaan konstruksi yang diperlukan negara, membantu menyediakan buruh yang terdidik  (melalui program pendidikan negeri) dan disiplin, dsb.
3.    Dalam  pengertian itu, berkembanglah sesuatu yang  disebut "pakta  dominasi" antara para kapitalis utama dengan  para pemimpin  pemerintahan  berdasar  kepentingan  yang  sama. Dengan  demikian, negara dan kelas  berjalan  bersama-sama melakukan pembangunan menurut jalan kapitalis.
4.    Seiring dengan berkembangnya industrialisasi menurut jalan kapitalis  itu  berkembang pula kelas menengah  dan  kelas pemilik-kapital dengan sumber-sumber kekuatan politik yang cukup  besar. Suatu saat mereka ini menganggap bahwa  pengendalian  ekonomi  dan sosial yang  dilakukan  pemerintah otoriter  itu justru mengganggu kepentingan mereka.  Melemahnya pakta dominasi mendorong munculnya kontradiksi  dan konflik antara kelas-kelas dominan itu dengan negara,  dan melemahkan basis sosial dari pemerintahan otoriter itu.
5.    Transformasi  struktural yang terjadi di dalam negeri  itu diperkuat oleh tekanan-tekanan internasional ketika negara itu semakin terintegrasi ke dalam pembagian kerja internasional  dan  memasuki tahap  industrialisasi  berorientasi ekspor. Mengapa perusahaan kapitalis internasional  berkepentingan  mendorong  munculnya demokrasi?  Menurut  jalan pikiran  ini, rezim demokratis atau semi-demokratis  lebih menjamin perpindahan barang, tenaga dan kapital yang lebih bebas. Dengan demikian, demokratisasi dipandang  merupakan salah  satu  jalan untuk membuka pasar  domestik  yang  di bawah  rezim  otoriter  tidak bebas  untuk  dimasuki  oleh barang-barang  dan  jasa  dari luar  negeri.  Selain  itu, semakin banyak elit negara itu yang menganggap  demokratisasi sarana penting untuk mendukung keinginan mereka masuk menjadi  anggota klub internasional "negara-negara  maju". Dan  ini juga menjadi pendorong kuat ke arah  liberalisasi ekonomi dan politik.
6.    Faktor yang juga mendukung proses itu pada dasawarsa 1980-an  adalah  melemahnya negara-negara otoriter  itu  akibat krisis-krisis  ekonomi yang beruntun. Defisit neraca  pembayaran yang semakin besar, hutang luarnegeri, inflasi dan krisis fiskal mendorong negara-negara itu untuk  menyerahkan tanggungjawab pembangunan ekonomi kepada borjuasi kota (misalnya, di Malaysia, Singapura dan Indonesia). Demokratisasi merupakan satu cara untuk mengajak pihak-pihak lain untuk  menanggung  beban  tanggungjawab  dan   menghindari mobilisasi ketidakpuasan masyarakat.
7.    Tidak  ada  yang  otomatis  dalam  perkembangan  kapitalis seperti  ini.  Pada  awal 1990-an,  beberapa  negara  Asia memang nampak menjalani jalur demokratisasi seperti digambarkan  di  atas. Namun, seperti  dikatakan  oleh  Robison (1988:57),  walaupun konteks internasional yang  merupakan arena bagi beroperasinya industrialisasi negara-negara itu mempengaruhi  perilaku  sistem politik mereka,  rezim  apa yang  akan  muncul  dari proses dinamik  itu  juga  sangat dipengaruhi  oleh sejarah konflik sosial dan politik  masing-masing.   Perubahan  kondisi-kondisi  struktural   itu memang sangat penting, tetapi itu tidak sepenuhnya  menentukan perubahan bentuk negara.

BEBERAPA PERTANYAAN LEBIH LANJUT.
            Ketiga kerangka berpikir di atas didasarkan pada  pendekatan strukturalis.  Kemunculan  demokrasi  dijelaskan  berdasar   mode produksi  ekonomi yang dominan di masyarakat  yang  bersangkutan. Analisis  Moore  diarahkan pada cara  bagaimana  surplus  ekonomi dihasilkan oleh para petani dan bagaimana pengelolaan surplus itu mendorong timbulnya perubahan hubungan antara kelas-kelas sosial. Therborn  memusatkan perhatian  pada  kecenderungan-kecenderungan yang inheren dalam kapitalisme. Sedangkan sketsa Robison  tentang jalur menuju demokratisasi itu didasarkan pada dinamika kelas dan negara  dalam perkembangan kapitalisme (tahap akhir).  Eksplanasi mengenai  demokratisasi berdasar proses ekonomi yang dialami  dan konsekwensi  strukturalnya semacam itu memang menarik,  namun  ia masih meninggalkan beberapa pertanyaan tak terjawab.
            Salah satunya adalah: bagaimana peran buruh dan petani dalam proses  itu?  Ketiga analisis itu terlalu banyak  diarahkan  pada persoalan  struktur yang dihasilkan oleh kepentingan ekonomi  dan politik  dari  kelas-kelas  yang  dominan  (internasional  maupun domestik)  dan  negara.  Buruh dan petani  umumnya  hanya  muncul sebagai korban proses itu, atau kalau mereka mencoba memobilisasi kekuatan  akan ditindas demi keberlangsungan  proses  pembangunan menurut jalan kapitalis itu. Padahal, dalam tahapan demokratisasi dan pembangunan kapitalis lebih lanjut perjuangan buruh bisa jadi lebih efektif. Misalnya, rezim Korea Selatan yang sedang  mencoba melakukan demokratisasi setuju peningkatan upah buruh yang dituntut  oleh  sejumlah besar buruh yang mogok  pada  akhir  1980-an, padahal sebelumnya tuntutan seperti itu akan segera ditindas.
            Pertanyaan lain: Apakah demokrasi bisa menjamin  penghapusan ketimpangan  sosial?  Ketiga analisis itu  juga  tidak  berbicara mengenai  persoalan ini.  Yang bisa diperoleh dari  cerita  Moore adalah  bahwa dalam proses demokratisasi itu petani  menjadi  korban. Mereka secara bertahap mengalami transformasi akibat komersialisasi pertanian dan akhirnya terhapus sebagai aktor  politik. Cerita Moore juga menunjukkan bahwa dalam proses demokratisasi di beberapa negara itu sebagian besar yang kaya tetap kaya, sebagian yang miskin tetap miskin juga.
            Pertanyaan  lain lagi: Apakah demokrasi bisa mendorong  pembangunan ekonomi? Paling banter yang bisa disimpulkan dari ketiga analisis di atas adalah ketidakjelasan. Mereka tidak  menunjukkan hubungan  kausal  antara  demokratisasi  dengan   industrialisasi kapitalis; tidak juga dikatakan bahwa pembangunan industrial  itu merupakan  prasyarat penting demi mendorong demokratisasi.  Moore menunjukkan bahwa industrialisasi di Eropa tidak hanya menghasilkan  demokrasi,  tetapi juga fasisme. Therborn  mengatakan  bahwa beberapa  kecenderungan  tertentu dalam  kapitalisme  hanya  bisa bermanfaat bagi demokratisasi kalau ada faktor-faktor yang mendukungnya. Dari cerita Robison bisa disimpulkan bahwa  industrialisasi kapitalis tahap akhir di Asia tidak didahului oleh  demokratisasi;  bahkan pembangunan industrial yang paling cepat  di  wilayah  itu  justru  dilakukan oleh masyarakat  yang  hidup  dalam lingkungan  yang  tidak demokratis. Walaupun  juga  harus  diakui bahwa ketika proses industrialisasi itu semakin matang dan kelas-kelas pemilik kapital semakin kuat dan percaya-diri,  kecenderungan  ke  arah demokratisasi bisa muncul. Moore  juga  menunjukkan bahwa demokratisasi di Eropa tiga ratus tahun lalu tidak  mempercepat  pembangunan ekonomi yang menyertai  komersialisasi  pertanian. Dan walaupun transformasi di pedesaan akibat komersialisasi pertanian itu dalam beberapa kasus mendorong demokratisasi, dalam beberapa kasus lain justru menumbuhkan fasisme.



Related Posts

Post a Comment

Artikel Menarik

Subscribe Our Newsletter