Yang baru saja kita bahas adalah
teorisasi mengenai demokratisasi yang
dominan sejak 1970-an. Konseptualisasi
yang muncul dari pengalaman transisi demokrasi kontemporer itu
nampak menonjolkan dua karakteristik.
Pertama, pendefinisian yang menekankan dimensi
prosedural, yaitu demokrasi adalah
persoalan tata-cara memerintah.
Dan kedua, eksplanasi terhadap keberhasilan
demokratisasi yang menekankan peranan "agent" sebagai
determinan pokok. Yaitu demokratisasi hanya akan terjadi kalau
ada aktor politik yang mencoba mencari peluang dalam
berbagai kondisi yang dihadapi. Yang tidak terliput dalam reviu panjang
itu adalah gagasan yang menghubungkan demokrasi dengan
struktur yang melingkupinya. Terutama sekali
perdebatan yang terjadi sejak
lama mengenai peranan kapital
dalam proses perjuangan demokratis itu.
Dalam bab
ini kita akan membahas dimensi
itu, terutama dengan mengajukan
pertanyaan: Kesempatan apa yang diberikan
oleh struktur sosial-ekonomi pada pelaku proses demokratisasi? Kapan dan
dalam kondisi apa kesempatan itu muncul? Bagaimana
format demokratisasi yang muncul dari proses itu? Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan ini kita bisa belajar dari karya klasik Barrington Moore (1966), G. Therborn (1978),
dan Richard Robison (1988).
MOORE: ALIANSI
KELAS DAN DEMOKRASI.
Pada
dasarnya karya Moore bermaksud menggambarkan apa yang terjadi dengan hubungan antara
kelas-kelas sosial dalam masyarakat dengan
negara ketika dunia mengalami
transformasi delapan abad, mulai
abad 17 sampai kira-kira tahun 1940-an, dan menjelaskan mengapa transformasi
itu terjadi. Seperti sudah banyak
diketahui oleh pengkaji ilmu sosial, inti dari transformasi itu, yang
lebih dikenal dengan istilah "modernisasi", adalah
industrialisasi kapitalis dan komersialisasi pertanian. Tiga
kelas sosial utama yang
diperhatikan Moore adalah kelas priyayi pemilik tanah, petani, dan borjuasi
kota. Tesis yang diajukan Moore adalah bahwa proses demokratisasi suatu bangsa
sangat dipengaruhi pola hubungan antara ketiga kelas sosial itu dengan negara
pada masa berlangsungnya proses modernisasi. Perbedaan pola hubungan
antara kelas-kelas sosial
tersebut dengan negara di masa transformasi itu diduga
akan menghasilkan proses dan format
demokrasi yang berbeda. Untuk membuktikan tesis itu Moore melakukan
studi perbandingan sosiologis-historis
atas pengalaman Inggris, Perancis,
Amerika Serikat, Jerman, Russia. Cina,
Jepang, dan India. Dalam studi itu Moore
mengajukan empat pertanyaan besar:
1.
Pola hubungan antara kelas dan negara bagaimana yang membuat Inggris, Amerika
Serikat dan Perancis
berhasil menciptakan
demokrasi liberal? Apakah ketiga bangsa itu mengalami
pola hubungan kelas dan negara yang sama?
2.
Kalau ya,
apakah pola mereka berbeda
dengan pola hubungan kelas dan
negara yang menghasilkan
fasisme di Jepang
dan Jerman tahun 1930-an?
3.
Apakah ada pola lain lagi yang
melahirkan revolusi komunis di Cina
akhir 1940-an dan Russia akhir 1910-an?
4.
Dan bagaimana menjelaskan
munculnya demokrasi di India?
Dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan itu, Moore
mencoba menunjukkan bahwa dalam sejarah modernisasi ada beberapa "jalur" yang berbeda-beda. Berbeda
dengan teoritisi modernisasionis yang memandang demokrasi sebagai satu-satunya akhir dari
perjalanan modernisasi
masyarakat, Moore
mengambarkan adanya jalur-jalur alternatif. Transformasi sosial-ekonomi besar-besaran
yang berlangsung sejak abad 17 itu bukan
hanya menghasilkan bangsa-bangsa dengan
sistem politik demokratis, tetapi juga sistem yang fasis dan komunis. Bagaimana proses
transformasi di masing-masing jalur itu?
Jalur menuju, menurut konseptualisasi Moore, seperti
yang diringkas oleh Potter 1992:284), bisa dirumuskan dalam generalisasi berikut ini: Demokrasi muncul
dalam kondisi dimana segolongan borjuasi yang kuat dan independen muncul
dengan kepentingan yang bertentangan
dengan rezim masa lalu dan
mampu menerapkan kontrol atas kebijakan nasional (sementara pada waktu
yang sama suatu perimbangan kekuatan
antara kelas atas pemilik tanah dengan negara
tetap dipertahankan) dan
dimana pengaruh petani
lemah sekali atau bahkan tidak ada karena telah ditransformasikan atau dihancurkan oleh para tuan tanah dan pihak-pihak
lain yang terlibat dalam proses komersialisasi pertanian.
Jalur sejarah
yang berbeda, yang
menghasilkan fasisme (seperti di
Jepang tahun 1930-an) bisa diringkas sebagai berikut: Fasisme muncul dalam kondisi dimana borjuasi kota
relatif lemah dan bertumpu
pada kelas atas pemilik tanah yang
dominan untuk mensponsori
komersialisasi pertanian melalui dominasi mereka atas negara, yang memaksakan
disiplin perburuhan pada petani.
Jalur ketiga yang menghasilkan
revolusi komunis (seperti di Cina tahun
1940-an) dijelaskan oleh Moore sebagai berikut:
Revolusi komunis terjadi dalam kondisi dimana borjuasi kota lemah dan
didominasi oleh negara, kaitan antara
petani dengan tuan tanah lemah, tuan tanah tidak mampu melakukan
komersialisasi pertanian, dan
petani yang bersatupadu berhasil membangun
aliansi yang memiliki kecakapan
organisasi.
Yang
keempat adalah jalur yang
menurut Moore agak
khas, yaitu jalur yang
ditempuh India untuk menjadi demokrasi.
Di masyarakat India tahun 1940-an, modernisasi tidak
berlangsung sedinamis di ketiga kasus di atas, karena negara
kolonial melindungi kelas atas pemilik
tanah dan membiarkan mereka mengantongi
sebagian besar surplus ekonomi yang
dihasilkan oleh petani dan tidak
membelanjakan surplus itu
untuk mendorong pertumbuhan industrialisasi. Karena itu, borjuasi kotanya lemah,
kelas atas pemilik tanahnya tidak berkepentingan melakukan
komersialisasi pertanian,
petaninya tidak bersatu dan tidak
memiliki pemimpin untuk melakukan
aksi politik, dan tidak satupun dari ketiga kelas sosial yang mencoba
memutuskan hubungan dengan masa lalu. Dilihat dari tesis
Moore tentang "jalur demokrasi" di
atas, kerangka struktural sosial yang ada di India waktu itu tidak menjanjikan kemungkinan tumbuhnya
demokrasi. Tetapi, nyatanya
demokrasi tumbuh di India. Mengapa?
Menurut Moore:
"pemerintah jajahan
Inggris di India
umumnya bertumpu pada kelas-kelas
atas di pedesaan, para pangeran dan
pemilik tanah luas di banyak, tetapi
tidak di semua, wilayah negeri itu . . .
Beberapa konsekwensi politik penting
dari kecenderungan untuk bertumpu
pada kelas atas pedesaan itu perlu
segera diperhatikan . . . Kecenderungan ini mengalienasi kelas-kelas
komersial dan profesional, yaitu borjuasi baru India,
ketika mereka perlahan-lahan muncul ke permukaan pada abad 19.
Dengan memisahkan kelas atas pemilik
tanah dari para pemimpin
kota yang baru muncul dan
lemah itu, kehadiran Inggris mencegah terbentuknya
koalisi reaksioner yang menjadi ciri
model Jerman dan Jepang. Ini bisa disebut sebagai
sumbangan penting yang kemudian menentukan
pembentukan demokrasi parlementer
di India, paling tidak sama pentingnya dengan
penetrasi gagasan Inggris
melalui kelas-kelas profesional
India. Tanpa paling tidak kondisi-kondisi struktural yang menguntungkan,
gagasan-gagasan demokrasi yang diimpor dari Inggris paling banter hanya akan menjadi 'literary playthings'. Terakhir, kehadiran Inggris mendorong
kaum borjuasi India untuk melakukan
akomodasi dengan petani demi memperoleh basis dukungan yang besar.(Moore
dikutip dalam Potter, 1992:284).
Dari
uraian itu kita temukan tiga
penyebab keberhasilan India
mengembangkan demokrasi. Pertama, negara kolonial menciptakan kondisi
struktural yang menguntungkan bagi pertumbuhan demokrasi parlementer dengan
cara memisahkan kelas atas pemilik tanah
dari kelas-kelas komersial dan profesional kota yang baru muncul. Kedua,
gagasan politik Inggris, termasuk gagasan tentang demokrasi perwakilan, merasuk ke dalam pikiran anggota
kelas komersial dan profesional
itu ketika mereka
bersekolah. Ketiga, ketika kelas-kelas komersial dan profesional
ini mulai mempertimbangkan gagasan itu
dengan lebih serius, dan bahkan
membentuk gerakan politik
(nasionalis) untuk mencapai tujuan-tujuan politik, mereka didorong ke arah
akomodasi dengan kelas petani untuk meningkatkan efektivitas politik mereka.
Disini nampak bahwa beberapa kondisi
yang dimiliki oleh bangsa-bangsa lain yang menempuh jalur demokrasi
juga terdapat dalam kasus India,
tetapi kondisi-kondisi lainnya
tidak ada. Misalnya, di India tidak terjadi komersialisasi pertanian atau transformasi petani seperti
di Inggris, juga tidak ada kelas borjuasi yang dinamik
dan dominan. Karena itulah demokrasi
India itu oleh Moore dianggap kasus yang khas.
Inti
dari eksplanasi umum Moore
tentang demokrasi adalah bahwa
dari perkembangan kelas-kelas
sosial dan aliansi antar-kelas muncullah kondisi struktural yang
menguntungkan perkembangan demokrasi;
dan kondisi-kondisi itulah yang akhirnya mendorong pembentukan demokrasi parlementer. Memang ada
peranan individu-individu yang tergerak
oleh gagasan demokrasi, tetapi pilihan dan tindakan mereka sangat ditentukan
oleh struktur kelas, dan gagasan
demokratis itu tidak akan lebih dari sekedar "literary playthings" kalau
diwadahi oleh kondisi-kondisi struktural
yang menguntungkan itu. Ini adalah argumen struktural yang meyakinkan mengenai mengapa
India bisa menjadi demokrasi sedangkan
Cina tidak.
THERBORN: PERAN
KAPITAL.
Seperti dibahas oleh Potter, (1992:285), argumen
Therborn mengenai peran kapital dalam proses demokratisasi bisa dibagi ke dalam
dua bagian berikut.
Pertama, kecenderungan-kecenderungan tertentu
yang inheren atau merupakan ciri pokok kapitalisme bisa
menciptakan kondisi-kondisi yang
mendorong munculnya demokrasi. Misalnya:
·
Kapitalisme menciptakan pasar
tenaga kerja "bebas", artinya, buruh,
yang dibebaskan dari ikatan dengan
tuan-tanah feudalnya, bisa menjual atau membeli tenaga kerja demi
upah. Kecenderungan inheren ini, bersama-sama dengan
ciri-ciri lain kapitalisme, memberi landasan yang kemudian
dipakai oleh buruh untuk memperjuangkan nasibnya. Gerakan buruh itu memainkan peran pokok dalam perjuangan
menuju demokrasi.
·
Hubungan produksi
kapitalis cenderung
menciptakan "kelas panguasa
yang secara internal saling berkompetisi dan terpecah-belah tetapi hidup berdampingan secara damai".
Mereka ini terpecah dalam beberapa fraksi, seperti pedagang, bank, industri, pertanian,
dsb. Dalam keadaan tidak ada
pusat kekuasaan yang tunggal, kelas-kelas atas
itu memerlukan suatu mekanisme
politik yang memungkinkan proses
pemilihan, musyawarah dan perwakilan. Pada tahap-tahap awal kepitalisme, situasi seperti ini telah
mendorong munculnya republik-republik
yang didukung orang-orang kaya atau monarki-monarki parlementer (seperti di
Inggris). Dari awal seperti itulah, yang
muncul akibat kecenderungan inheren di dalam kapitalisme, kemudian
muncul lembaga-lembaga
legislatif demokrasi parlementer.
Kedua, kecenderungan-kecenderungan inheren itu betul-betul mendorong munculnya
demokrasi kalau terkait dengan
salah satu atau ketiga hal
berikut. Ini adalah faktor-faktor yang menentukan kapan suatu negara kapitalis
bergerak menuju demokrasi:
·
Pengalaman kalah dalam perang. Suatu
negara mengalahkan negara lain
dalam perang dan kemudian memaksakan pelaksanaan demokrasi, misalnya Austria,
Jerman, Jepang.
·
Mobilisasi rakyat secara
nasional untuk menghadapi ancaman dari dari luar. Ini mengandung dua
aspek: [a] demokratisasi sebagai sarana
melakukan mobilisasi nasional untuk keperluan perang, seperti Undang-undang
Kanada tentang Pemilihan Umum di masa
Perang, tahun 1917; [b] demokratisasi sebagai akibat dari mobilisasi
rakyat dalam masa perang, misalnya,
hak pilih untuk wanita Anerika Serikat tahun 1919.
·
urni perkembangan internal, misalnya
perpecahan di kalangan kelas-kelas
penguasa.
Fokus eksplanasi Therborn agak berbeda
dari pusat analisis Moore, walaupun
keduanya sama-sama mementingkan peranan
struktur sosial dalam proses demokratisasi. Therborn berusaha menjelaskan bagaimana dan
mengapa suatu demokrasi muncul pada
suatu waktu tertentu, tidak pada
waktu lain. Ia sangat berminat pada
persoalan kapan sebenarnya demokrasi bisa muncul. Jawaban yang diberikannya adalah bahwa demokrasi muncul sesudah struktur kapitalisme sudah kokoh.
Singkatnya, kerangka logika
kapitalisme sangat
menentukan. Demokrasi hanya
bisa muncul dalam kerangka
itu. Perubahan Jepang dari
fasisme ke demokrasi dijelaskan
dalam konteks ini, yaitu: di
dalam struktur kapitalisme Jepang waktu itu
terdapat kecenderungan-kecenderungan inheren tertentu
yang menguntungkan demokrasi.
Ketika Jepang kalah dalam Perang Dunia
II dan Amerika Serikat memaksakan suatu bentuk demokrasi padanya, struktur
kapitalisme sudah ada dan struktur inilah yang melestarikan demokrasi
itu. "Agency" yang mencanangkan inisiatif
itu, yaitu aktor internasional dan nasional, dan "struktur"
kapitalisme yang ada memang secara
bersama-sama menentukan keberhasilan demokratisasi itu,
namun faktor struktural itu dianggap
jauh lebih penting.
ROBISON:
DEMOKRATISASI NEGARA INDUSTRI BARU?
Penjelasan teoritik terhadap
munculnya gerakan demokrasi di
negara-negara industri baru (NIB) di Asia Timur dan Tenggara juga menerapkan
logika kapital seperti diatas. Yaitu, di dalam kapitalisme terdapat
kecenderungan inheren yang
mendorong tumbuhnya demokrasi. Walaupun
setiap masyarakat mungkin
menjalani jalur pengalaman sejarahnya
sendiri-sendiri, yang mungkin
unik atau sangat berbeda
satu-sama-lain, ilmuwan bisa
menunjukkan bahwa sebenarnya ada
pola yang sama di antara berbagai pengalaman
itu. Robison (1988), misalnya, menemukan bahwa pengalaman berbagai NIB
di Asia
Timur dan Tenggara itu
memiliki ciri-ciri yang
sama berikut ini:
1.
Perkembangan cepat kapitalisme
industrial (tahap akhir) di Asia
menciptakan kelas-kelas pemilik
kapital baru yang padamulanya sangat rentan; dan perkembangan ini didukung oleh yang negara yang otoriter.
2.
Negara-negara otoriter seperti
itu cocok untuk menjalankan fungsi-fungsi
politik dan ekonomi yang sangat
esensial bagi pertumbuhan kapitalisme (tahap akhir). Fungsi-fungsi itu a.l.: menjamin bahwa tidak
akan terjadi reformasi atau revolusi sosial yang umumnya diinginkan buruh
dan petani, melakukan investasi dalam
industri berat dan infrastruktur ekonomi,
memberikan kredit murah dan proteksi tarif bagi kapitalis, menerapkan monopoli perdagangan, membuat kontrak-kontrak kerja khusus dengan
pengusaha-pengusaha untuk pemasokan barang atau pekerjaan konstruksi yang
diperlukan negara, membantu menyediakan buruh yang terdidik (melalui program pendidikan negeri) dan
disiplin, dsb.
3.
Dalam pengertian itu, berkembanglah sesuatu
yang disebut "pakta dominasi" antara para kapitalis utama
dengan para pemimpin pemerintahan
berdasar kepentingan yang
sama. Dengan demikian, negara dan
kelas berjalan bersama-sama melakukan pembangunan menurut
jalan kapitalis.
4.
Seiring dengan berkembangnya
industrialisasi menurut jalan kapitalis
itu berkembang pula kelas
menengah dan kelas pemilik-kapital dengan sumber-sumber
kekuatan politik yang cukup besar. Suatu
saat mereka ini menganggap bahwa
pengendalian ekonomi dan sosial yang dilakukan
pemerintah otoriter itu justru
mengganggu kepentingan mereka.
Melemahnya pakta dominasi mendorong munculnya kontradiksi dan konflik antara kelas-kelas dominan itu
dengan negara, dan melemahkan basis
sosial dari pemerintahan otoriter itu.
5.
Transformasi struktural yang terjadi di dalam negeri itu diperkuat oleh tekanan-tekanan
internasional ketika negara itu semakin terintegrasi ke dalam pembagian kerja
internasional dan memasuki tahap industrialisasi berorientasi ekspor. Mengapa perusahaan
kapitalis internasional
berkepentingan mendorong munculnya demokrasi? Menurut
jalan pikiran ini, rezim
demokratis atau semi-demokratis lebih
menjamin perpindahan barang, tenaga dan kapital yang lebih bebas. Dengan
demikian, demokratisasi dipandang
merupakan salah satu jalan untuk membuka pasar domestik
yang di bawah rezim
otoriter tidak bebas untuk
dimasuki oleh barang-barang dan
jasa dari luar negeri.
Selain itu, semakin banyak elit
negara itu yang menganggap demokratisasi
sarana penting untuk mendukung keinginan mereka masuk menjadi anggota klub internasional
"negara-negara maju". Dan ini juga menjadi pendorong kuat ke arah liberalisasi ekonomi dan politik.
6.
Faktor yang juga mendukung
proses itu pada dasawarsa 1980-an
adalah melemahnya negara-negara
otoriter itu akibat krisis-krisis ekonomi yang beruntun. Defisit neraca pembayaran yang semakin besar, hutang
luarnegeri, inflasi dan krisis fiskal mendorong negara-negara itu untuk menyerahkan tanggungjawab pembangunan ekonomi
kepada borjuasi kota (misalnya, di Malaysia, Singapura dan Indonesia).
Demokratisasi merupakan satu cara untuk mengajak pihak-pihak lain untuk menanggung
beban tanggungjawab dan
menghindari mobilisasi ketidakpuasan masyarakat.
7.
Tidak ada
yang otomatis dalam
perkembangan kapitalis
seperti ini. Pada
awal 1990-an, beberapa negara
Asia memang nampak menjalani jalur demokratisasi seperti
digambarkan di atas. Namun, seperti dikatakan
oleh Robison (1988:57), walaupun konteks internasional yang merupakan arena bagi beroperasinya
industrialisasi negara-negara itu mempengaruhi
perilaku sistem politik mereka, rezim
apa yang akan muncul
dari proses dinamik itu juga
sangat dipengaruhi oleh sejarah
konflik sosial dan politik
masing-masing. Perubahan kondisi-kondisi struktural
itu memang sangat penting, tetapi itu tidak sepenuhnya menentukan perubahan bentuk negara.
BEBERAPA
PERTANYAAN LEBIH LANJUT.
Ketiga kerangka berpikir di atas
didasarkan pada pendekatan
strukturalis. Kemunculan demokrasi
dijelaskan berdasar mode produksi ekonomi yang dominan di masyarakat yang
bersangkutan. Analisis Moore diarahkan pada cara bagaimana
surplus ekonomi dihasilkan oleh
para petani dan bagaimana pengelolaan surplus itu mendorong timbulnya perubahan
hubungan antara kelas-kelas sosial. Therborn
memusatkan perhatian pada kecenderungan-kecenderungan yang inheren
dalam kapitalisme. Sedangkan sketsa Robison
tentang jalur menuju demokratisasi itu didasarkan pada dinamika kelas
dan negara dalam perkembangan
kapitalisme (tahap akhir). Eksplanasi
mengenai demokratisasi berdasar proses
ekonomi yang dialami dan
konsekwensi strukturalnya semacam itu
memang menarik, namun ia masih meninggalkan beberapa pertanyaan tak
terjawab.
Salah satunya adalah: bagaimana
peran buruh dan petani dalam proses
itu? Ketiga analisis itu terlalu
banyak diarahkan pada persoalan struktur yang dihasilkan oleh kepentingan
ekonomi dan politik dari
kelas-kelas yang dominan
(internasional maupun domestik) dan
negara. Buruh dan petani umumnya
hanya muncul sebagai korban
proses itu, atau kalau mereka mencoba memobilisasi kekuatan akan ditindas demi keberlangsungan proses
pembangunan menurut jalan kapitalis itu. Padahal, dalam tahapan
demokratisasi dan pembangunan kapitalis lebih lanjut perjuangan buruh bisa jadi
lebih efektif. Misalnya, rezim Korea Selatan yang sedang mencoba melakukan demokratisasi setuju
peningkatan upah buruh yang dituntut
oleh sejumlah besar buruh yang
mogok pada akhir
1980-an, padahal sebelumnya tuntutan seperti itu akan segera ditindas.
Pertanyaan lain: Apakah demokrasi
bisa menjamin penghapusan
ketimpangan sosial? Ketiga analisis itu juga
tidak berbicara mengenai persoalan ini. Yang bisa diperoleh dari cerita
Moore adalah bahwa dalam proses
demokratisasi itu petani menjadi korban. Mereka secara bertahap mengalami
transformasi akibat komersialisasi pertanian dan akhirnya terhapus sebagai
aktor politik. Cerita Moore juga
menunjukkan bahwa dalam proses demokratisasi di beberapa negara itu sebagian
besar yang kaya tetap kaya, sebagian yang miskin tetap miskin juga.
Pertanyaan lain lagi: Apakah demokrasi bisa
mendorong pembangunan ekonomi? Paling
banter yang bisa disimpulkan dari ketiga analisis di atas adalah
ketidakjelasan. Mereka tidak menunjukkan
hubungan kausal antara
demokratisasi dengan industrialisasi kapitalis; tidak juga
dikatakan bahwa pembangunan industrial
itu merupakan prasyarat penting
demi mendorong demokratisasi. Moore
menunjukkan bahwa industrialisasi di Eropa tidak hanya menghasilkan demokrasi,
tetapi juga fasisme. Therborn
mengatakan bahwa beberapa kecenderungan
tertentu dalam kapitalisme hanya
bisa bermanfaat bagi demokratisasi kalau ada faktor-faktor yang
mendukungnya. Dari cerita Robison bisa disimpulkan bahwa industrialisasi kapitalis tahap akhir di Asia
tidak didahului oleh demokratisasi; bahkan pembangunan industrial yang paling
cepat di
wilayah itu justru
dilakukan oleh masyarakat
yang hidup dalam lingkungan yang
tidak demokratis. Walaupun
juga harus diakui bahwa ketika proses industrialisasi
itu semakin matang dan kelas-kelas pemilik kapital semakin kuat dan
percaya-diri, kecenderungan ke
arah demokratisasi bisa muncul. Moore
juga menunjukkan bahwa
demokratisasi di Eropa tiga ratus tahun lalu tidak mempercepat
pembangunan ekonomi yang menyertai
komersialisasi pertanian. Dan
walaupun transformasi di pedesaan akibat komersialisasi pertanian itu dalam
beberapa kasus mendorong demokratisasi, dalam beberapa kasus lain justru
menumbuhkan fasisme.
Post a Comment
Post a Comment